“Circle of Equity”, Sebuah Pemikiran Ekonomi Politik Dari Ibnu Khaldun
Oleh : Multazam ZakariaSharia Economics and Banking Institue (SEBI)
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh di antara kamu, sungguh Dia akan menjadikan mereka menjadi pemimpin di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan sungguh Dia akan menggantikan ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka menyembah-Ku, tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu. Dan barang siapa yang ingkar sesudah yang demikian itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-Nuur: 55)
Saya pernah menulis di salah
satu Koran Harian, dimana tulisan itu mencoba menilisik kembali artikel
Ir.Soekarno yang ditulis sebagi respon terhadap kelompok yang menyebut dirinya
“kaum nasionalis konstruktif” yang menuduhnya terlalu banyak omong. Tapi saya
menitikberatkan peran penting ulama terhadap pembangunan daerah dulu dan kini,
dimana ulama ini sendiri dalam istilah
saya disebut “kaum agamis konstruktif”. Sejak dimuatnya tulisan itu, ada beberapa
orang yang mencoba mengkritisi secara objektif yang menganggap tulisan itu
terlalu berlebihan.
Menjadi impian kita semua
apa yang sering disebut baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur, maka untuk
mewujudkan ini kita dituntut sedini mungkin untuk merumuskan peta kepemimpinan
bangsa ini pada etape-etape berikutnya. Cita-cita ini butuh konsep dan pijakan
yang jelas, dan semua itu haruslah kita mulai gagas saat ini juga.
Dalam Circle of Equity yang
terbentuk dari pemikiran Abul Iqtishad (baca: bapak ekonomi) Ibnu Khaldun yang
kemudian disempurnakan oleh Dr. Umer Chapra menjadi Dinamyc Model of Islam memuat
beberapa varibel yang saling berkaiterat satu sama lain dan tidak dapat
dipisahkan. Variabel-varibel itu adalah G (Government: pemerintahan), W
(Walfare: kesejahteraan), S (Syariah), N (Nation: rakyat), D (Development:
pengembangan), dan J (Justice: keadilan). Jika mengamini pemikiran Ibnu Khaldun
ini, maka artinya kita menyetujui bahwa pemerintahan (government) yang rahmatan
lil alamin tidak akan terwujud tanpa syariah dan syariah tidak akan terwujudkan
kecuali dipelopori oleh pemerintah atau pemegang kekuasaan. Pemikiran ibnu
khaldun ini menunjukkan bahwa kepemimpinan atau pemerintahan haruslah dipegang
oleh orang yang memahami syariah dan memahami islam secara kaffah. Maka
pantaslah imam al-Gozali mengatakan “agama dan kekuasaan (al-Sulthan) adalah dua saudara
kembar, dimana agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya”. Segala
sesuatu yang tidak berpondasi pasti tidak akan bertahan lama, akan runtuh dalam
kedipan waktu. Maka yang kita butuhkan saat ini adalah para calon pemimpin
bangsa yang memiliki pondasi yang kuat dari dimensi intelektualitas ataupun
spritualitas.
Ada yang menarik jika kita berbicara syariah
dari sudut pandang sistem ekonomi Indonesia saat ini, dimana peran
lembaga-lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah,
dan sebagainya mulai dipertanyakan banyak pihak. Akhir-akhir ini banyak
perusahaan-perusahaan perbankan konvensional yang tiba-tiba mendirikan anak
perusahaan yang dimakeup dan tampil dengan wajah perusahaan perbankan syariah.
Ternyata perusahaan-perusahaan itu belum mampu menghadirkan perubahan
signifikan yang sejatinya menjadi tujuan dan filosofi sistem ekonomi islam atau
yang biasa disebut juga ekonomi syariah. Sehingga terjadilah
‘anomali’ perbankan syariah. Terbukti dengan masih lebarnya kesenjangan sosial antara si
kaya dan si miskin, tidak terwujudnya pemerataan pendapatan, dan lain sebagainya.
Mengapa?. Dalam paham ekonomi islam sendiri terdapat beberapa madzhab atau
aliran, diantaranya: Pertama, Madzhab Iqtishoduna yang berpendapat bahwa “ilmu
ekonomi yang ada sekarang (konvensional) tidak pernah bisa sejalan dengan
islam. Toeri-teori dalam ekonomi islam seharusanya didapat dari al-Quran dan
Sunnah (konsep dekonstruksi), dan bukan ekonomi konvensional yang diadaptasikan dengan
ajaran islam”. Kedua, Madzhab Mainstream. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan
pandangan ekonomi konvensional, hanya disesuaikan dengan tuntunan Islam dalam
Al-Quran dan As-Sunnah (konsep rekonstruksi). Hemat penulis, sistem ekonomi Indonesia saat ini menganut
madzhab mainstream yang hanya mengadaptasikan ekonomi konvensional dengan
ajaran islam yang bisa disebut juga jiplakan ekonomi neo-klasik. Padahal telah
jelas Allah perintahkan agar memasuki islam secara kaffah.
Paparan diatas sengaja penulis
sajikan agar kita lebih menyadari pentingnya kaffah dalam beragama, termasuk
pada bidang ekonomi, sosial, dan tak terkecuali politik atau pemerintahan. Berbicara
sosok yang memahami syariah, maka ulama adalah klu yang mungkin akan muncul di
benak kita. Ini karena pemahaman mereka yang mendalam tentang syariah,
identiknya. Maka berbicara sosok pemimpin masa depan bangsa ini sama artinya
mengharuskan kita berbicara tentang ulama. Itupun jika kita menginginkan golden
age (baca: masa keemasan) yang terjadi pada zaman kekhalifahan itu kembali
terjadi pada zaman kita ini. Maka mulai saat ini, ulama seharusnya berperan
aktif dan rill terhadap cita-cita luhur yang ingin kita wujudkan bersama yaitu baldatun
thoyyibatun wa rabbun gafhur. Seharusnya kaum ulama mengambil sikap tegas, bila
perlu mendeklarasikan atas kesiapannya menjadi agent of change dalam mewujudkan
peradaban yang membaharu.
Maka pendapat yang mengatakan ulama
tidak boleh memasuki dunia pemerintahan, hemat penulis justru merupakan opini
yang berlebihan. Itu jika kita ingin menelisik kembali zaman-zaman keemasan
islam dimana para pemegang kekuasaan saat itu adalah adalah para tokoh yang memahami
dengan benar syariah islam. Liriklah mulai dari zaman kekhalifahan, Sayyiduna
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib. Lalu
dilanjutkan pada zaman umayyah, abbasiyyah satu dan abbasiyyah dua.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^