Pages

Natal, Toleransi dan Hiperopia [Sebuah Otokritik]

Kamis, 26 Desember 2013




Perdebatan tentang hukum mengucapkan ‘selamat natal’ bagi seorang muslim sepertinya sudah menjadi topik diskusi tahunan, kita bisa saksikan kenyataan ini. Perbedaan dalam fiqih ‘amaliyah rupanya sudah menjadi keniscyaan, inilah yang mengantarkan kita sehingga mengenal empat madzhab: Hanbali, Maliki, Syafi’i, dan Hanafi. 
 Toleransi atau yang dikenal dengan tasaamuh  dalam Islam adalah sikap mulia yang harus dimiliki seorang mukmin. Harus diakui, domain toleransi ini hanya pada koridor sosial kemasyarakatan, adapun dalam aqidah dan ketauhidan toleransi tidak berlaku. 
Sebenarnya bukan natal yang akan penulis bicarakan di sini, tapi toleransi begitu terlihat menarik karena telah dijadikan alasan utama bagi yang membolehkan mengucapkan selamat natal bagi seorang muslim. Menyaksikan berbagai kenyataan dan fakta tentang usaha mengkorelasikan natal dengan toleransi, menimbulkan ‘kegelian’ tersendiri. Justru ‘magnet’ toleransi bukanlah tentang perbedaan pendapat yang ada di dalamnya, tapi tentang gejala hiperopia yang secara sadar atau tidak telah menjangkiti kita, umumnya. 
Gejala hiperopia atau rabun dekat, benar-benar kita saksikan hampir telah mewabah di tubuh ummat ini. Jika boleh meminjam peribahasa ‘semut di seberang lautan terlihat tapi gajah di depan mata tiada terlihat’, sepertinya keadaan inilah yang sedang kita alami. Kita tiba-tiba muncul dengan sebentuk gairah ketika berada dalam diskusi-diskusi yang membahas tentang perbedaan pendapat dalam hal boleh atau tidak mengucapkan selamat natal bagi seorang muslim, namun tiba-tiba kita harus menutup mata dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang paling dekat dengan kita, keluarga, tetangga, dan  seterusnya hanya karena berbeda madzhab, organisasi massa (ormas), partai, dan bahkan hanya karena berbeda guru ngaji
Perbedaan ormas atau madzhab. Kita tidak dapat menutup mata atas keyataan ini, sudah berapa banyak konflik antar sesama muslim hanya karena perbedaan ormas dan madzhab. Sudah berapa banyak perdebatan yang dipenuhi kata-kata kasar dan kotor antar sesama muslim hanya kerana perbedaan partai dan guru ngaji. Saling menyalahkan, masing-masing merasa diri paling benar, bahkan sampai pada level takfir atau mengkafirkan, antar sesama muslim. 
Lalu dimana nilai-nilai toleransi yang kita agung-agungkan, tenggang rasa, sikap saling menghargai dan menghormati. Bagai mencari jarum pada tumpukan jerami. Lalu mengapa begitu mudah kita ‘jagokan’ toleransi kepada yang berbeda agama? Apakah sesama muslim tidak berhak menikmati manisnya buah toleransi yang selama ini kita tanam pada lahan kehidupan sosial dan bermasyarakat? Bukankah keempat imam madzhab yang kita anut telah mencontohkan nilai-nilai toleransi dianatara mereka? Ini adalah ‘pekerjaan rumah’ yang harus segera kita jawab dan selesaikan. 
Penulis ingin mengajak kita merenungi sikap tasaamuh di antara keempat madzhab di atas. Empat madzhab sunni tidak pernah mengklaim bahwa diri merekalah yang paling benar sedang yang lainnya adalah sesat. Imam Maliki pernah ditawari khalifah untuk menyatukan ummat islam dengan berpegang pada kitab al-Muwattho’ nya, tapi beliau menolak karena menghargai pendapat hasil ijtihad  para ulama yang lain. Imam Syafi’i bahkan pernah mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang mungkin saja hasil ijtihad nya salah, karenanya boleh ditinggalkan untuk mengikuti yang lain. Begitu juga dengan imam Hanafi dan Hanbali, mereka tidak pernah mengklaim bahwa pendapat merekalah yang paling benar.
“Perumpamaan orang islam di dalam sayang menyayangi dan kasih mengasihi adalah bagaikan satu tubuh yang apabila ada salah satu anggota yang sakit maka anggota tubuh yang lain akan merasakannya yaitu tidak bisa tidur dan merasa demam.” (H.R. Muslim). Jika membaca hadits ini, terlihatlah betapa kita begitu memperhatikan dan merawat tubuh orang lain, tapi menyakiti dan melukai tubuh kita sendiri.
Sebagai penutup, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (semena-mena). Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan taqwalah kepad Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. AlMaidah:8). Gejala hiperopia ini disebabkan oleh kedangkalan kita terhadap ilmu, dan agama. sehingga seringkali dengan mudah kita menerapkan nilai-nilai toleransi antar agama, tapi justru meninggalkannya antar sesama muslim. Dan pada akhirnya, domain toleransi tetaplah pada koridor sosial dan kemasyarakatan, tidak berlaku dalam hal aqidah dan ketauhidan. “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".  (QS. AlKafirun:6). Wallahua’lam.

Taman Kecurigaan?



Aku belum juga mengerti, mengapa hubungan kita masih saja seperti ‘bermain-main’. Diskusi-diskusi tentang totalitas tempo hari sepertinya hanya pernyataan retorik yang tidak membutuhkan jawaban dalam tataran praksis. Apa mungkin karena kehadiranku yang belum sepenuhnya kugenapkan untukmu, pun juga kehadiranmu yang belum sepenuhnya untukku? Mungkin kah kemuliaan itu kita raih di taman kecurigaan? Aku harap idealisme yang selama ini kita pertahankan, tidak tergadaikan oleh sejumlah agenda kerja di luar kewajaran kemanusiaan yang kita sepakati. Senja ini, bersama secankkir kopi kukenang kesetiaan masa lalu, tentang gairah, cita-cita, balas budi, pembuktian cinta, dan sejumlah kenangan manis-pahit saat membersamaimu. Sekarang, sudah saatnya kita bongkar semua masa lalu itu, bukan untuk merusak irama perjalanan ini, aku akan tetap menunggumu hingga ujung kibasan ekor kesadaran. #DialogSenja