Pages

PENGKHIANATAN TERHADAP IBU PERTIWI

Selasa, 01 April 2014

PENGKHIANATAN TERHADAP IBU PERTIWI
Multazam Zakaria
Khadim Pondok Pesantren Al-Madani & SEBI School of Islami Economics  


Indonesia dengan segala keindahannya disebut-sebut sebagai sepenggal firdaus pada hamparan khatulistiwa. Dan kita pun memaklumi itu karena kita juga turut serta menikmatinya. Akan tetapi, kita juga tidak bisa menutup mata atas pelbagai kenyataan yang kita semua menjadi saksinya: korupsi, kemiskinan, kenakalan remaja dan pelbagai permasalahan lainnya dalam berbagai sektor; pendidikan, sosial, ekonomi dan lainnya. Inilah yang akan menjadikan kita terus bertanya-tanya ‘di mana sepenggal firdaus yang dielu-elukan itu?’.

Tidak mengherankan jika sebuah hasil survei (Cirus, 15 Desember 2013) akhir-akhir ini menyatakan bahwa hanya 9,4 % responden (2.200 responden diwawancara dengan tatap muka) yang masih percaya dengan partai politik. Sejujurnya ini sangat memilukan dan inilah kenyataannya. Hampir seluruh rakyat Indonesia terjangkiti gejala kanker kronis skeptisme. Ini sangat berbahaya terhadap masa depan Bangsa. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan politik kita saksikan bertebaran di mana-mana. Bukan tanpa sebab, justru dengan sejuta satu sebab musabbabnya. Dan kita semua mengetahuinya.

Mendekati Pesta Demokerasi 9 April 2014, gejala ini menjadi monster yang mengancam masa depan Ibu Pertiwi. Gejala ini menjelma menjadi sebuah gerakan yang kini semakin digemari : Golongan Putih (Golput). Bisa dikatakkan golput lahir sebagai bentuk kekecewaan dan kemarahan rakyat. Tidak ada lagi yang bisa dipercaya, bahwa politik adalah bohong dan bahwa pemerintah adalah kepentingan pribadi saja. Dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan, golput memilih untuk tidak memilih, tidak ikut andil dalam mementukan pemimpin Negara karena golput merasa bahwa Negara (red: pemerintah) juga tidak pernah ikut andil dalam pelbagai persoalan kehidupannya.

Jika golput adalah reaksi wajar atas pelbagai kenyataan yang melanda kehidupan bernegara kita, justru pada kondisi seperti ini kita harus mampu keluar menarik diri dari massa dan memberikan sikap yang baru untuk Indonesia. Mengapa? Sepertinya golput bukanlah pelampiasan yang bijak atas sebentuk kekecewaan ini. Golput melepas diri dari masa depan, dan ini bentuk pengingkaran keniscayaan.

Fatwa golput haram telah kita maklumi bersama. Karena golput bertentangan dengan ajaran agama. Sementara di satu sisi kita terus mengelu-elukan pluralitas beragama di Negara ini. Dalam Islam, putus asa dijadikan indikasi kekufuran (pengingkaran) agama. Maka jelas, jika golput dilatarbelakangi oleh sebentuk keputusasaan  maka golput adalah salah satu bentuk pengingkaran agama. Sementara Indonesia adalah tanah haram bagi yang tidak beragama. Jika kita mengamini ini, maka golput adalah sebentuk pengkhianatan terhadap Ibu Pertiwi. Golput adalah bentuk keacuhan terhadap masa depan Indonesia.


Politik adalah sebuah konsep pementasan agung dalam bernegara. Kekecewaan terhadap para pemain pentas (politisi) tidak seharusnya membuat kita menjadikan konsep pementasan (politik) menjadi tumbal dengan berlaku skeptis atasnya. Jika begitu, maka kita sedang menyiapkan diri untuk menjadi korban-korban pemain pentas selanjutnya.


“Kebathilan akan menang jika para pendukung kebenaran dan para pengusung yang haq hanya berdiam diri.”, begitulah Mohammad Natsir menasihatkan. Harusnya nasihat pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi ini menjadi landasan paling wajar bagi siapa saja yang mengaku peduli dan cinta kepada Indonesia untuk tidak bergabung dalam gerakan Golput. Kekecewaan rakyat terhadap para pemimpin saat ini harusnya dilampiaskan pada jalur yang tepat dan logis. Ketidakmampuan kita meletakkan emosional di bawah logika hanya akan menyeret kita untuk merasakan luka-luka berikutnya.

Hemat penulis, kekecewaan terhadap para pemimpin dzalim harusnya dilampiaskan dengan mempersempit kesempatan mereka untuk berkuasa  kembali. Sedangkan golput justru akan membuka lebar gerbang kekuasaan untuk dimasuki mereka kembali. Maka jelaslah, golput bukanlah pilihan yang tepat untuk mengungkapkan kekecewaan, juga bukan pilihan yang tepat untuk mengungkapkan cinta kepada Indonesia.

Siapakah yang harus kita pilih? Ada empat idiom yang dikenal dalam Islam, khususnya dalam mengambil keputusan; Ilmul Yaqin, Haqqul Yaqin, Ainul Yaqin dan Udzunul Yakin. Ilmul Yaqin adalah metode yang digunakan dalam mengambil keputusan berdasarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki. Haqqul Yaqin adalah metode yang diambil setelah melakukan pertimbangan yang masak, baik itu berasal dari intuisi, firasat atau sebagainya. Ainul Yaqin adalah metode mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan dari apa yang kita lihat. Udzunul Yaqin adalah mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan dari apa yang kita dengar, dan inilah metode terlemah dari empat metode yang ada.

Umumnya, metode yang keempat dan ketiga inilah yang sedang kita lakukan. Kita memutuskan untuk memilih seseorang sebagai pemimpin dan wakil kita berdasarkan apa yang kita dengar dan kita lihat tentang orang tersebut. Jika kita merasa nyaman dengan kedua metode ini maka kita akan sering tertipu oleh berita pesanan di koran, televisi, internet dan lainnya. Bahkan, upacara-upacara dan atraksi pencitraan yang mulai ramai kita saksikan.

Untuk mendapatkan pilihan yang ideal, kita harus meenggunakan metode yang lebih tinggi levelnya; Haqqul Yaqin dan atau Ilmul Yaqin. Dalam Islam kita sering mendengar dan mengungkapkan ayat kedua dari suarat Al-Baqarah la raiba fih, tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Qur’an). Ini berlaku khusus kepada Allah, dan berlaku terbalik bagi selain-Nya. Maka kita tidak perlu meyakini apa yang sebenarnya belum kita ketahui tentang manusia. Maka tugas kita adalah mencari tahu sebanyak mungkin hal tentang para calon pemimpin yang akan kita pilih.

Memang, wahyu pertama adalah Iqra’, bacalah! Akan tetapi kita belum cukup hanya dengan membaca untuk menentukan pilihan. Tapi harus bismirabbika alladzi khalaq, kita membaca dengan nama Allah, tidak keluar dari koridor yang semestinya. Sehingga kita betul-betul siap untuk memilih pemimpin terbaik untuk masa depan bangsa kita, Indonesia tercinta. Wallahua’lam.

(Dimuat di Harian Lombok Post, 1 April 2014)