Pages

Peran Negara Dalam Sistem Ekonomi Islam

Jumat, 19 April 2013

Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Peran Pemerintah dalam Ekonomi Islam
Circle of Equity ,yang terbentuk dari pemikiran Abul Iqtishad (baca: bapak ekonomi) Ibnu Khaldun yang kemudian disempurnakan oleh Dr. Umer Chapra menjadi Dinamyc Model of Islam memuat beberapa varibel yang saling berkaiterat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Variabel-varibel itu diantaranya adalah G (Government: pemerintahan), W (Walfare: kesejahteraan), S (Syariah), N (Nation: rakyat), D (Development: pengembangan), dan J (Justice: keadilan).
Dua hubungan yang paling penting dalam mata rantai sebab –akibat adalah pembangunan dan keadilan. Pembangunan sangat penting karena kecendrungan normal masyarakat manusia adalah perubahan dan kemajuan. Tidak ada orang yang ingin kecil selamanya, miskin, rendah, bodoh, apalagi tertindas selamanya. Maka keadaan inilah yang yang menjadikan pembangunan sebagai sebuah jalan keluar sekaligus sebagai progress optional. Pembangunan yang dimaksudkan adalah bukan hanya pada pembangunan ekonomi, atau pembangunan fisik, tetapi lebih luas dari itu, meliputi semua aspek pembangunan kemanusiaan , material, intlektual, maupun spiritual.

Setidaknya, circle of equity ini dapat terangkum dalam apa yang biasa disebut dengan eigthwise principles atau kalimat hikamiyyah Ibnu Khaldun sebagai berikut:
“Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ah 
 Syari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk) 
 Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (ar-rijal) Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (al-mal)                                       


Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (al-imarah) 
 Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (al-'adl) 
 Keadilan adalah kriteria (al-mizan) Alloh menilai hamba-Nya  
 Dan Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan.”
Diantar bait penting yang bisa kita garisbawahi yaitu pemerintahan (government) yang kuat tidak akan terwujud tanpa syariah dan syariah tidak akan terwujudkan kecuali dipelopori oleh pemerintah atau pemegang kekuasaan. Pemikiran ibnu khaldun ini menunjukkan bahwa kepemimpinan atau pemerintahan haruslah dipegang oleh orang yang memahami syariah, tentunya dalam tataran teori dan implementasi. Maka pantaslah imam al-Gozali mengatakan “agama dan kekuasaan (al-Sulthan) adalah dua saudara kembar, dimana agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya”[1]. Segala sesuatu yang tidak berpondasi pasti tidak akan bertahan lama, akan runtuh dalam kedipan waktu. Maka yang kita butuhkan saat ini adalah para calon pemimpin bangsa yang memiliki pondasi yang kuat dari dimensi intelektualitas ataupun spritualitas.
          
  Meskipun Negara memgang peran penting dalam circle of equity ibnu khaldun, namun hal ini tidak menuntut karakter pemerintahan yang monolitik atau despotik. Negara tidak boleh menjalankan otoritasnya secar semena-mena. Justru Negara harus menggunakan kekuasaannya untuk memungkinkan pasar berfungsi baik dan menciptakan suatu lingkungan yang tepat bagi realisasi pembangunan dan keadilan. Negara hendaknya merupakan lembaga yang berorientasi kepada kesejahteraan, moderat dalam berbelanja, menghormati hak milik orang lain, dan menghindari perpajakan yang membebani.[2]

Peran Pemerintah Dalam Sistem Ekonomi Islam

Di awal tahun 30-an, peran Negara hanya terbatas pada pengelolaan atas sumber-sumber anggaran dan proses alokasi dana dalam memenuhi kebutuhan publik. Pada masa itu Negara tidak mampu menentukan kebijakan ekonomi dalam melakukan perubahan kehidupan  sosial-ekonomi. Hal tersebut dilakukan karena sistem ekonomi yang berkembang menganut prinsip kebebasan individu dalam berekonomi. Akan tetapi, dengan adanya krisis yang terjadi pada masa interval dua perang dunia serta merebaknya pemikiran sosialisme, menyebabkan perlunya intervensi pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi. Langkah tersebut diambil dengan tujuan agar distribusi income dapat dilakukan secara adil serta menjaga stabilitas ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi makro, balance budget bukanlah merupakan tujuan utama, namun hal yang terpenting adalah menciptakan stabilitas dalam kehidupan sosial dan ekonomi.[3]
Tiga tema utama yang mendominasi pemikiran Naqvi[4] tentang ekonomi Islam yaitu; Pertama, Kegiatan ekonomi islam merupakan sebuah kebutuhan manusia yang dapat mengantarkan menuju masyarakat yanga adil dan madani berdasarkan prinsip ilahiy al-‘adl wal ihsan. Kedua, diperlukannya kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan prinsip al-‘adl wal ihsan tersebut. Ketiga, ini merupakan titik yang sering sekali ditekankan dalam tulisan-tulisannya yaitu peran dominan Negara dalam kegiatan ekonomi islam, khususnya dalam menjalankan fungsinya sebagai pengambil kebijakan. Bahkan menurut naqvi, Negara bukan hanya regulator atas kebijakan-kebijakan maupun sebagai pengendali dari sistem ekonomi, lebih dari itu Negara merupakan peserta aktif dalam produksi dan distribusi keuangan.
            Peran efektif bagi negara  sebagai mitra, katalisator dan fasilitator tidak dapat dihindarkan untuk mewujudkan visi dan misi ekonomi Islam. al-Quran dan al-Sunnah hanyalah qawanin yang berupa norma-norma dan pedoman hidup yang diahrapkan ummat islam menjalankannya. Namun implementasi atas norma dan pedoman itu sangatlah tergantung pada kebijakan Negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. Baqir Ash-Shadr melihat bahwa intervensi negara dalam lapangan kehidupan ekonomi sangat diperlukan untuk menjamin keselarasannya dengan norma-norma Islam tersebut.[5]
            Sebagaimana dimaklum, visi ekonomi Islam adalah diperolehnya kebaikan atau kesejahteraan di dunia dan di akhirat bagi umat manusia (Surat Al-Baqarah, ayat 201). Sedangakan misi ekonomi Islam terwujudnya persamaan martabat di antara umat manusia sehingga di sini perlu ditegakkan keadilan[6], dan dalam rangka mewujudkan visi inilah dibutuhkannya kebijakan publik ataupun kebijakan keuangan publik dari Negara atau pemerintah yang bersifat walfare oriented bagi masyarakat sebagai pelaku kebijakan (policy stakeholders). Setidaknya, ketiga elemen sistem kebijakan yang sebagaimana disebutkan oleh Sasli Rais yaitu ; pelaku kebijakan (Policy Stakeholders), lingkungan kebijkan (policy environment), dan kebijakan publik itu sendiri haruslah selalu mengacu kepada tiga prinsip dasar dalam ekonomi islam yaitu akidah, syariah, dan akhlak.



[1] ______________, Tuan Guru Bajang Berpolitik dengan Dakwah dan Berdakwah dengan Politik
[2] Masyhuri, dkk, Kebijakan Ekonomi Dalam Islam (Yogyakarta: Kreasi Wacana Press, 2005) Cetakan Pertama, hal. 33 dst.
[3] Dr. Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam Ditengah Krisis Ekonomi Global, (Jakarta: Zikrul Hakim Press, 2007) Cetakan Ketiga, Hal. 103
[4] Direktur Pakistan Institute of Economics Develoment tahun 1979
[5] M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta :Gema Insani
Press, 2001), Cetakan Pertama, hal. 63.
[6] Parwataatmadja, Karnaen A. Parwataatmadja, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, bahan ajar
pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam,
Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Syariah, 2002, hal 7-8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^