Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Peran Pemerintah dalam Ekonomi Islam
Circle of Equity ,yang terbentuk dari pemikiran
Abul Iqtishad (baca: bapak ekonomi) Ibnu Khaldun yang kemudian disempurnakan
oleh Dr. Umer Chapra menjadi Dinamyc
Model of Islam memuat beberapa varibel yang
saling berkaiterat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Variabel-varibel
itu diantaranya adalah G (Government: pemerintahan), W (Walfare: kesejahteraan), S (Syariah), N (Nation: rakyat), D (Development: pengembangan), dan J (Justice: keadilan).
Dua hubungan yang paling
penting dalam mata rantai sebab –akibat adalah pembangunan dan keadilan.
Pembangunan sangat penting karena kecendrungan normal masyarakat manusia adalah
perubahan dan kemajuan. Tidak ada orang yang ingin kecil selamanya, miskin,
rendah, bodoh, apalagi tertindas selamanya. Maka keadaan inilah yang yang
menjadikan pembangunan sebagai sebuah jalan keluar sekaligus sebagai progress optional. Pembangunan yang dimaksudkan
adalah bukan hanya pada pembangunan ekonomi, atau pembangunan fisik, tetapi
lebih luas dari itu, meliputi semua aspek pembangunan kemanusiaan , material,
intlektual, maupun spiritual.
Setidaknya, circle of equity
ini dapat terangkum dalam apa yang biasa disebut dengan eigthwise principles atau kalimat hikamiyyah Ibnu
Khaldun sebagai berikut:
“Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ahSyari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk)Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (ar-rijal) Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (al-mal)
Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (al-imarah)Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (al-'adl)Keadilan adalah kriteria (al-mizan) Alloh menilai hamba-NyaDan Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan.”
Diantar bait penting yang
bisa kita garisbawahi yaitu pemerintahan (government) yang kuat tidak akan
terwujud tanpa syariah dan syariah tidak akan terwujudkan kecuali dipelopori
oleh pemerintah atau pemegang kekuasaan. Pemikiran ibnu khaldun ini menunjukkan
bahwa kepemimpinan atau pemerintahan haruslah dipegang oleh orang yang memahami
syariah, tentunya dalam tataran teori dan implementasi. Maka pantaslah imam
al-Gozali mengatakan “agama dan
kekuasaan (al-Sulthan) adalah dua saudara kembar, dimana agama adalah pondasi
dan kekuasaan adalah penjaganya”[1]. Segala sesuatu yang tidak berpondasi pasti tidak
akan bertahan lama, akan runtuh dalam kedipan waktu. Maka yang kita butuhkan
saat ini adalah para calon pemimpin bangsa yang memiliki pondasi yang kuat dari
dimensi intelektualitas ataupun spritualitas.
Meskipun Negara memgang peran penting dalam circle of equity ibnu
khaldun, namun hal ini tidak menuntut karakter pemerintahan yang monolitik atau
despotik. Negara tidak boleh menjalankan otoritasnya secar semena-mena. Justru
Negara harus menggunakan kekuasaannya untuk memungkinkan pasar berfungsi baik
dan menciptakan suatu lingkungan yang tepat bagi realisasi pembangunan dan
keadilan. Negara hendaknya merupakan lembaga yang berorientasi kepada
kesejahteraan, moderat dalam berbelanja, menghormati hak milik orang lain, dan
menghindari perpajakan yang membebani.[2]
Peran Pemerintah Dalam Sistem
Ekonomi Islam
Di awal tahun 30-an, peran Negara
hanya terbatas pada pengelolaan atas sumber-sumber anggaran dan proses alokasi
dana dalam memenuhi kebutuhan publik. Pada masa itu Negara tidak mampu
menentukan kebijakan ekonomi dalam melakukan perubahan kehidupan sosial-ekonomi. Hal tersebut dilakukan karena
sistem ekonomi yang berkembang menganut prinsip kebebasan individu dalam
berekonomi. Akan tetapi, dengan adanya krisis yang terjadi pada masa interval
dua perang dunia serta merebaknya pemikiran sosialisme, menyebabkan perlunya
intervensi pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi. Langkah tersebut
diambil dengan tujuan agar distribusi income dapat dilakukan secara adil serta
menjaga stabilitas ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi makro, balance budget
bukanlah merupakan tujuan utama, namun hal yang terpenting adalah menciptakan
stabilitas dalam kehidupan sosial dan ekonomi.[3]
Tiga tema utama yang mendominasi pemikiran Naqvi[4] tentang ekonomi Islam
yaitu; Pertama, Kegiatan
ekonomi islam merupakan sebuah kebutuhan manusia yang dapat mengantarkan menuju
masyarakat yanga adil dan madani berdasarkan prinsip ilahiy al-‘adl wal
ihsan. Kedua, diperlukannya kebijakan-kebijakan yang
berpihak kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan prinsip al-‘adl wal ihsan
tersebut. Ketiga, ini merupakan titik yang sering sekali ditekankan dalam
tulisan-tulisannya yaitu peran dominan Negara dalam kegiatan ekonomi islam,
khususnya dalam menjalankan fungsinya sebagai pengambil kebijakan. Bahkan
menurut naqvi, Negara bukan hanya regulator atas kebijakan-kebijakan maupun
sebagai pengendali dari sistem ekonomi, lebih dari itu Negara merupakan peserta
aktif dalam produksi dan distribusi keuangan.
Peran efektif bagi negara
sebagai mitra, katalisator dan fasilitator tidak dapat dihindarkan untuk
mewujudkan visi dan misi ekonomi Islam. al-Quran dan al-Sunnah hanyalah qawanin
yang berupa norma-norma dan pedoman hidup yang diahrapkan ummat islam
menjalankannya. Namun implementasi atas norma dan pedoman itu sangatlah
tergantung pada kebijakan Negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. Baqir
Ash-Shadr melihat bahwa intervensi negara dalam lapangan
kehidupan ekonomi sangat diperlukan untuk menjamin keselarasannya dengan
norma-norma Islam tersebut.[5]
Sebagaimana dimaklum, visi ekonomi Islam adalah diperolehnya
kebaikan atau kesejahteraan di dunia dan di akhirat bagi umat manusia (Surat
Al-Baqarah, ayat 201). Sedangakan misi ekonomi Islam terwujudnya persamaan
martabat di antara umat manusia sehingga di sini perlu ditegakkan keadilan[6], dan
dalam rangka mewujudkan visi inilah dibutuhkannya kebijakan publik ataupun
kebijakan keuangan publik dari Negara atau pemerintah yang bersifat walfare
oriented bagi masyarakat sebagai pelaku kebijakan (policy stakeholders).
Setidaknya, ketiga elemen sistem kebijakan yang sebagaimana disebutkan oleh
Sasli Rais yaitu ; pelaku kebijakan (Policy Stakeholders), lingkungan
kebijkan (policy environment), dan kebijakan publik itu sendiri haruslah
selalu mengacu kepada tiga prinsip dasar dalam ekonomi islam yaitu akidah, syariah,
dan akhlak.
[1]
______________, Tuan Guru Bajang Berpolitik dengan Dakwah dan Berdakwah
dengan Politik
[2]
Masyhuri, dkk, Kebijakan Ekonomi Dalam Islam (Yogyakarta: Kreasi Wacana
Press, 2005) Cetakan Pertama, hal. 33 dst.
[3]
Dr. Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam Ditengah Krisis Ekonomi Global, (Jakarta:
Zikrul Hakim Press, 2007) Cetakan Ketiga, Hal. 103
[4] Direktur Pakistan Institute of Economics
Develoment tahun 1979
[5]
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi
: Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta :Gema Insani
Press, 2001), Cetakan Pertama, hal. 63.
[6]
Parwataatmadja, Karnaen A. Parwataatmadja,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, bahan ajar
pada
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Kajian Timur Tengah
dan Islam,
Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Syariah,
2002, hal 7-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^