Pages

Selamat Datang Kejayaan! [2]

Selasa, 31 Desember 2013

Inilah masa-masa tersulit yang tidak
bisa kumengerti. Ucapan tahniah
dan do'a seakan-akan sebagai
penghibur atas sesuatu yang telah
hilang dariku. Sebentar lagi malam
digulung mentari, sebentuk
keberanian kemarin ingin kusaksikan
lagi hari ini. Menekuri sisa waktu
hidup, mengapa harus mendikte
kematian? Bagaiamana mungkin aku
bertemu Sang Kekasih sementara
aku tak ingin pulang dari
perantauan? Bila memang kematian
adalah satu-satunya jalan kembali
dari perantauan singkat ini, baiklah,
mulai saat ini, aku akan belajar
untuk siap menghadapinya. Tuhan,
kata mereka usiaku bertambah.
Inilah gejala terbesar bahwa
kedatanganku menuju-Mu sebentar
lagi tiba. Sebelum itu datang,
izinkan aku menggenapkan segala
janji setia untuk setiap nurani yang
aku dan Kau mencintainya. Maafkan
semua ketidakseriusan selama ini,
mari kita genapkan shubuh dengan
keberanian yang utuh, yang telah
kita sepakati.

Selamat Datang Kejayaan!

Senin, 30 Desember 2013

Baiklah, semestinya pagi ini kita sarapan dengan sebentuk keberanian yang utuh, untuk keluar dari semua ketidakseriusan ini. Mengakhiri tahun ini, keinsyafan adalah kado paling istimewa. Aku kira ada keasyikan tersendiri yang kita temukan sepanjang perjalanan nanti, memulai tahun baru dengan peta hidup pada halaman sekian kesungguhan. Sudah saatnya kita fokus pada satu titik, nilai kemanusiaan, untuk masa depan. Mari kita lanjutkan perjalanan!

Natal, Toleransi dan Hiperopia [Sebuah Otokritik]

Kamis, 26 Desember 2013




Perdebatan tentang hukum mengucapkan ‘selamat natal’ bagi seorang muslim sepertinya sudah menjadi topik diskusi tahunan, kita bisa saksikan kenyataan ini. Perbedaan dalam fiqih ‘amaliyah rupanya sudah menjadi keniscyaan, inilah yang mengantarkan kita sehingga mengenal empat madzhab: Hanbali, Maliki, Syafi’i, dan Hanafi. 
 Toleransi atau yang dikenal dengan tasaamuh  dalam Islam adalah sikap mulia yang harus dimiliki seorang mukmin. Harus diakui, domain toleransi ini hanya pada koridor sosial kemasyarakatan, adapun dalam aqidah dan ketauhidan toleransi tidak berlaku. 
Sebenarnya bukan natal yang akan penulis bicarakan di sini, tapi toleransi begitu terlihat menarik karena telah dijadikan alasan utama bagi yang membolehkan mengucapkan selamat natal bagi seorang muslim. Menyaksikan berbagai kenyataan dan fakta tentang usaha mengkorelasikan natal dengan toleransi, menimbulkan ‘kegelian’ tersendiri. Justru ‘magnet’ toleransi bukanlah tentang perbedaan pendapat yang ada di dalamnya, tapi tentang gejala hiperopia yang secara sadar atau tidak telah menjangkiti kita, umumnya. 
Gejala hiperopia atau rabun dekat, benar-benar kita saksikan hampir telah mewabah di tubuh ummat ini. Jika boleh meminjam peribahasa ‘semut di seberang lautan terlihat tapi gajah di depan mata tiada terlihat’, sepertinya keadaan inilah yang sedang kita alami. Kita tiba-tiba muncul dengan sebentuk gairah ketika berada dalam diskusi-diskusi yang membahas tentang perbedaan pendapat dalam hal boleh atau tidak mengucapkan selamat natal bagi seorang muslim, namun tiba-tiba kita harus menutup mata dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang paling dekat dengan kita, keluarga, tetangga, dan  seterusnya hanya karena berbeda madzhab, organisasi massa (ormas), partai, dan bahkan hanya karena berbeda guru ngaji
Perbedaan ormas atau madzhab. Kita tidak dapat menutup mata atas keyataan ini, sudah berapa banyak konflik antar sesama muslim hanya karena perbedaan ormas dan madzhab. Sudah berapa banyak perdebatan yang dipenuhi kata-kata kasar dan kotor antar sesama muslim hanya kerana perbedaan partai dan guru ngaji. Saling menyalahkan, masing-masing merasa diri paling benar, bahkan sampai pada level takfir atau mengkafirkan, antar sesama muslim. 
Lalu dimana nilai-nilai toleransi yang kita agung-agungkan, tenggang rasa, sikap saling menghargai dan menghormati. Bagai mencari jarum pada tumpukan jerami. Lalu mengapa begitu mudah kita ‘jagokan’ toleransi kepada yang berbeda agama? Apakah sesama muslim tidak berhak menikmati manisnya buah toleransi yang selama ini kita tanam pada lahan kehidupan sosial dan bermasyarakat? Bukankah keempat imam madzhab yang kita anut telah mencontohkan nilai-nilai toleransi dianatara mereka? Ini adalah ‘pekerjaan rumah’ yang harus segera kita jawab dan selesaikan. 
Penulis ingin mengajak kita merenungi sikap tasaamuh di antara keempat madzhab di atas. Empat madzhab sunni tidak pernah mengklaim bahwa diri merekalah yang paling benar sedang yang lainnya adalah sesat. Imam Maliki pernah ditawari khalifah untuk menyatukan ummat islam dengan berpegang pada kitab al-Muwattho’ nya, tapi beliau menolak karena menghargai pendapat hasil ijtihad  para ulama yang lain. Imam Syafi’i bahkan pernah mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang mungkin saja hasil ijtihad nya salah, karenanya boleh ditinggalkan untuk mengikuti yang lain. Begitu juga dengan imam Hanafi dan Hanbali, mereka tidak pernah mengklaim bahwa pendapat merekalah yang paling benar.
“Perumpamaan orang islam di dalam sayang menyayangi dan kasih mengasihi adalah bagaikan satu tubuh yang apabila ada salah satu anggota yang sakit maka anggota tubuh yang lain akan merasakannya yaitu tidak bisa tidur dan merasa demam.” (H.R. Muslim). Jika membaca hadits ini, terlihatlah betapa kita begitu memperhatikan dan merawat tubuh orang lain, tapi menyakiti dan melukai tubuh kita sendiri.
Sebagai penutup, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (semena-mena). Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan taqwalah kepad Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. AlMaidah:8). Gejala hiperopia ini disebabkan oleh kedangkalan kita terhadap ilmu, dan agama. sehingga seringkali dengan mudah kita menerapkan nilai-nilai toleransi antar agama, tapi justru meninggalkannya antar sesama muslim. Dan pada akhirnya, domain toleransi tetaplah pada koridor sosial dan kemasyarakatan, tidak berlaku dalam hal aqidah dan ketauhidan. “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".  (QS. AlKafirun:6). Wallahua’lam.

Taman Kecurigaan?



Aku belum juga mengerti, mengapa hubungan kita masih saja seperti ‘bermain-main’. Diskusi-diskusi tentang totalitas tempo hari sepertinya hanya pernyataan retorik yang tidak membutuhkan jawaban dalam tataran praksis. Apa mungkin karena kehadiranku yang belum sepenuhnya kugenapkan untukmu, pun juga kehadiranmu yang belum sepenuhnya untukku? Mungkin kah kemuliaan itu kita raih di taman kecurigaan? Aku harap idealisme yang selama ini kita pertahankan, tidak tergadaikan oleh sejumlah agenda kerja di luar kewajaran kemanusiaan yang kita sepakati. Senja ini, bersama secankkir kopi kukenang kesetiaan masa lalu, tentang gairah, cita-cita, balas budi, pembuktian cinta, dan sejumlah kenangan manis-pahit saat membersamaimu. Sekarang, sudah saatnya kita bongkar semua masa lalu itu, bukan untuk merusak irama perjalanan ini, aku akan tetap menunggumu hingga ujung kibasan ekor kesadaran. #DialogSenja


Di Perbatasan Kota

Rabu, 25 Desember 2013

Senja kali ini, sengaja kuhabiskan di perbatasan kota. Ingin kunikmati lagi manisnya perantauan, yang dulu di awal keberangkatan pernah singgah dalam catata sejarah kita. Ketika idealisme mulai krisis gairah, mimpi-mimpi besar lenyap dalam keasyikan kerja, kuharap ada ombak yang bisa kusaksikan di antara peluh keringat para supir di terminal ini. Barangkali kita masih ingat kisah mega dahsyat Musa dan ikannya, majma'al bahrain, ingin kusaksikan tayangan ulangmu di sini. Apa yang salah? Mengapa ombak begitu amat diharapkan, apa iya rutinitas selama ini membuatmu jenuh dan bosan? Mengapa harus melakoni apa yang tidak kau kehendaki? Apa iya hidup ini bagimu hanya pentas murahan tanpa penonton?  Penyandraan ini kau tahu amat kejam, aku heran justru kau terus belajar menikmatinya, padahal Tuhan telah hadiahkan kemerdekaan. Merantaulah! #DialogSenja

Sudah Genap Empat Senja

Sudah genap empat senja, tak kucatatkan apapun tentang keberadaanmu di sini. Aku khawatir, kita tidak lagi punya bekal yang cukup untuk singgah lebih lama lagi, di ruang persahabatan yang beku. Jika kau masih ingat malam itu, ada pelukan yang kita nikmati. Setidaknya, itu adalah ikhtiar paling wajar untuk mengundang kehangatan yang telah lama gaib dari labirin kita. Bila ada yang ingin kau catatkan pagi ini : temani aku menikmati pertunjukan senja nanti #DialogEmbun

Skenario Hampir Rampung

Sabtu, 14 Desember 2013



skenario hampir rampung, dengan peran amsing-masing, saya harap tidak ada nilai kemanusiaan yang kita gadaikan. Egoisme terlalu hina untuk sutradara sekelasmu, harusnya kita malu pada senja kali ini, betapa bulan dan matahari setia mangabadikan ketulusan. Tidak pernah kujumpai nurani memusuhi nurani, jika kau tidak percaya, kesinilah temani kesindirianku dalam penyandraan yang aku tidak tahu kapan berakhir. Akan kujelaskan, betapa kau sangat berarti dalam pertunjukan ini. Mari! #DialogSenja

Sobek Saja!

Jumat, 13 Desember 2013




Sobek saja!
Multazam Zakaria #DialogSenja



“semestinya tidak ada pertengkaran yang kita abadikan, tak kutemui nurani memusuhi nurani.”


Bismillahirrahmanrrahim. Bagaimana kabar sahabat? Semoga selalu sehat dan ‘afiyat dalam berkah-Nya. Di awal catatan ini, mari kita hadiahkan alfatihah tertulus untuk bidadari syurga yang selama ini membersamai kehidupan kita, untuk Bunda. Semoga Allah sehatkan beliau selalu, semoga sakit yang beliau derita kini, segera disembuhkan-Nya. Alfaatihah!

Tampar Aku, Tuhan [2]

Senin, 09 Desember 2013




TAMPAR AKU, TUHAN
MultazamZakaria #DialogHati



“yang tidak mengenal dirinya, mana dapat ia mengenal Tuhannya”
Bismillahirrahmanrrahim. Sahabat, bagaimana kabarmu kini? Aku harap kau sehat dan ‘afiyat, semoga saja. Di awal dialog ini, mari kita hadiahkan fatihah tertulus untuk bunda kita yang selama ini mengajarkan arti dari sebuah ketulusan dalam kehidupan kita, untuk ayah yang selama ini mengajarkan ketegaran dalam menjalani hidup, untuk  sejumlah orang yang cintanya tiada putus untuk kita, meski kita kadang tidak menyadarinya. Alfaatihah

Amazing Succes

Sabtu, 07 Desember 2013



AMAZING SUCCES
 Energi Langit Untuk Kemakmuran Bumi


Definisi atau makna sukses sangatlah beragam, tergantung siapa dan bagaimana menerjemahkannya. Dan merekapun akan mendapatkannya sesusai dengan definisi yang mereka buat, maka buatlah definisi terbaik kesuksesan anda.”

Bismillah. Pada #amazingSucces ini kita akan mencoba untuk membicarkan definisi suskses, sehingga kita tahu betul apa yang sedang kita tuju. Kita harus menyepakati makna dan definisi sukses itu, tentu maksud saya adalah bukan sekedar sukses tapi sukses luar biasa #Amazing Succes.