Pages

Cinta Kita

Rabu, 15 Mei 2013



“Yang disebut cinta adalah rasa yang didapat dari pengembaraan menuju-Nya. Selain daripada itu, bisa dipastikan hanyalah jelmaan syahwah nafsiyyah dan ego semata.” (Multazam Zakaria- MOZAIK Indonesia)
#####

Seiring masa terus mencabik usia kita tanpa henti, tanpa henti, sedikitpun, kita nampaknya makin terlihat dewasa dan mulai merambah ke dalam dunia rasa. Kita tampil nampak lebih elegan dan lebih faham akan rasa-rasa yang barangkali sering menghiasi detik detik nafas kita. Meski saya yakin di balik tampilan elegan dan kefahaman itu ada banyak hal yang sebetulnya kita tidak mengerti, hakikatnya. Saya bisa katakan hal semacam ini sebagai sebuah bentuk ‘ketertipuan’. Tertipu? Maksudnya? Yah, bicara rasa maka taka ada rasa yang paling diindah untuk dikecap selain rasa cinta. Siapa yang tidak tahu dengan rasa ini? Rasa ini adalah rahasia dari pengorbanan-pengorbanan besar, rasa ini adalah rahasia dari semangat kontirbusi yang tak mengenal kata jeda, rasa ini yang menajdi rahasia dibalik kuatnya pundak memikul amanah dan kaki terus melangkah. Inilah rahasianya, rasa ini. Bila memang rasa ini adalah rahasia dari hal-hal besar itu, pernahkah kita sedikit menggelitik diri untuk bermaksud lebih memahami indikasi atau sekedar hakikat dan sumbernya.? Ya, kita sering mangalami ketertipuan dengan rasa ini. Barangkali karena kita terlalu menikmatinya sehingga remehkan sumber dan dampaknya. Bila itu terjadi, maka tertipulah dan bersiaplah kecap derita luka yang mungkin entah kapan berhenti menganga.

Rentan memang, indikasi dari cinta dan syhawah begitu persis bahkan cenderung sama dan kita sering kali tidak mampu mengenalinya. Lihatlah, bila Syeikh nawawi menjadikan ‘rindu’ sebagai salah satu dari indikasi cinta, pun nafsu memiliki indikasi semcam itu ‘rindu’. lalu bila ‘banyak mengingat’ dijadikan pula sebagai indikasi dari cinta, pun ‘banyak mengingat’ juga merupakan indikasi dari syahwah. Syahwah memang terasa mudah mengenalinya bila menemukannya dalam perkara maksiat, namun ia akan samar dan cenderung tidak terlihat bila dibalut oleh taat. Bila nikah adalah sebuah ibadah yang merupakan ketaatan, adakah yang mampu menjamin semua yang menikah berdasarkan cinta ataukah syahwah? Bukankah indikasi dari cinta dan syahwah cenderung sama, lalu mampukah kita mengenal syqhwah bila dalam keadaan seperti ini, syahwat dalam taat, tepatya seperti itu. Syahwah semacam ini yang barangkalai disebut imam ibnu ‘athaillah sebagai syahwah khafiyah (syahwat tersembunyi), maksudnya adalah kita sulit untuk mengenalinya karena dibalut oleh ketaatan tadi. 

Cinta, remaja, dua kata ini cukup menarik bagi saya. Remaja adalah  masa dimana seseorang mulai mencari jati dirinya, dan merupakan masa yang paling rentan dengan kesukaan terhadap lawan jenis. Sengaja saya gunakan kata ‘kusukaan’ bukan ‘kecintaan’ karena saya tidak berani menjamin apa yang dirasakan mereka adalah cinta, saya khawatir dan sangat khawatir itu adalah jelmaan syahwah saja. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang suka kepada lawan jenisnya, apapun faktor itu tapi jauh lebih penting apa yang akan kita bicarakan saat ini, benarakah rasa suka itu adalah cinta? Yakinkah kita bahwa itu bukan syahwah yang dipoles iblis dan kita menikmatinya? Saya kira ini adalah pertanyaan mendasar yang masing-masing kita harus menjawabnya. Jika ia, maka hal muthlak yang harus kita lakukan adalah memahami apa itu cinta? Dan darimana mendapatkannya? Ya, ini yang akan kita coba bicarakan disini.

Cinta tidak mampu didefinisikan yang lebih jelas daripada cinta itu sendiri, definisi hanya akan menambah kesamaran . definisi itu dimaksudkan untuk ilmu, sedangkan cinta adalah sebuah rasa yang dihimpunkan kepada hati para pencinta. Hanya rasa yang mampu membuka rahasianya. Apapun yang dikatakan terhadap cinta tidak lain hanya menerangkan kesan cinta, mengibaratkan dampak serta memperjelas sebab-sebabnya, tapi bukan definisi dari cinta itu sendiri. tapi bila boleh mendefinisikan cinta hakiki, maka saya akan menulis “Yang disebut cinta adalah rasa yang didapat dari pengembaraan menuju-Nya. Selain daripada itu, bisa dipastikan hanyalah jelmaan syahwah nafsiyyah dan ego semata.”

Izinkan juga saya mengutip beberapa perkataan ulama tentang cinta yang saya sadur dari kitab mukasyafatul qulub buah pena Imam Al-Gazali. Ibnu addhibag rahimahullah berkata :” Siapa saja yang merasakan cinta niscaya ia akan dikuasai oleh keadaan yang tak tentu arah, yaitu suatu perkara yang tidak mungkin mampu diibaratkan. Sebagaimana orang yang pernah mabuk, apabila ditanya tentang hakikat mabuk yang dialaminya ia tak mungkin mengibaratkan keadaan tersebut karena keadaan itu telah mengalahkan akalnya. Begitu pula dengan seseorang yang sedang mabuk cinta. Seorang ulama yang bernama syeikh junaid pernah ditanya tentang cinta, lalu menundukkan kepala bersama cucuran air mata lalu berkata : adalah cinta ketika seseorang meninggalkan nafsunya, banyak mengingat-NYA, berdiri  melaksanakan kewajiban kepada-Nya, dan melihat dengan hati sanubari kepada-Nya. Hati terbakar dengan cahaya keagungan ilahi dan minumannya jernih datang dari gelas cinta.  Jika berkata-kata dia berkata-kata dengan Allah, jika berbicara berbicara dari Allah, jika bergerak geraknya dengan perintah Allah, jika diam maka bersama Allah. Dia billah, lillah, dan ma’allah.
Dikisahkan seorang pemuda yang yang lalai dari bersolawat kepada Nabi saw, suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Nabi saw. Lalu ia menanyai rasul saw “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?” Rasul menjawab “tidak”. “Apakah kau tidak melihat siapa aku?” Rasulpun menjawab “aku tidak mengenalmu”. “bagaimana engkau tidak mengenaliku, padahal aku adalah laki-laki dari ummatmu, dan para ulama meriwayatkan bahwa engkau mengenali ummatmu sebagaimana ibu mengenali anaknya” Rasulpun menjawab “mereka benar, akan tetapi engkau jarang mengingatku dengan bersholawat, sedangkan aku mengenali ummat tergantung kadar sholawat mereka kepadaku”.
Jika engkau mencintai Allah maka ikutilah aku.. (QS. Ali Imran : 31)

Imam al-Gozali dalam Ihya’nya mengatakan “Siapa yang mengaku atas empat perkara tanpa empat perkara maka ia adalah pembohong. Siapa saja yang mengaku cinta surga tapi tidak melakukan ketaatan maka ia adalah pembohong. Dan siapa saja yang mengaku mencintai nabi saw tapi tidak mencintai para ‘ulama dan orang fakir maka ia adalah pembohong. Dan siapa yang mengaku takut dengan neraka tapi ia tidak meninggalkan maksiat maka ia adalah pembohong. Dan siapa saja yang mengaku mencintai Allah tapi selalu mengeluh dengan ujian yang diberikan-Nya maka ia adalah pembohong.”

Sayyidah Robi’ah Al-Adawiyyah berkata, “Engkau maksiati Allah sementara telah engkau ungkapkan cinta kepada-Nya, sungguh sayang ungkapanmu hanyalah rayuan belaka kepada-Nya, karena jika memang cintamu benar adanya maka engkau akan tunduk pada-Nya, karena pencinta tunduk pada yang dicinta.”
Dan tanda cinta itu adalah mencintai apa yang dicintai oleh yang dicintai dan menjauhi apa yang tidak disukainya.
Dikisahkan jama’ah mendatangi kediaman Syeikh Assyibli, lalu beliau bertanya “Siapakah kalian?” merekapun menjawab “kami adalah orang-orang yang mencintaimu”. Lalu beliaupun mengusir mereka. “mengapa engkau usir kami wahai syeikh?” beliapun menjawab “kalian mengaku mencintaiku, tapi mengapa kalian menghindar dari ujianku?”
Ali karromallahu wajhah berkata “siapa yang merindukan surga maka ia akan bersegera melakukan kebaikan, dan siapa yang takut kepada neraka maka ia akan menahan nafsunya.
Ibrohim Al-Khawwas pernah ditanya tentang cinta, lalu menjawab “terkumpulnya segala keinginan, terbakarnya segala sifat dan hajat, dan tenggelamnya diri pada laut pembuktian”

Hulu dan Hilir Cinta
Melihat beberapa gambaran dan pendapat tentang cinta diatas, masih sulit memang membedakan antara mahabbah (cinta) dengan syhawah nafsiyyah (nafsu syahwat). Namun begini saja, bila antara cinta dan syhawat memiliki indikasi yang sama saat rasa itu dikecap, maka hal paling aman adalah melihat hulu dan hilir dari rasa itu. Hanya hulu dan hilir tanpa melibat masa-masa dimana rasa itu dikecap, hanya ada dua pilihan ini menurut saya.
Hulu, merupakan latar belakang dari cinta, ini bisa terdiri dari pemahman dan keyakinan atau aspek spritualitas sebelum rasa itu dikecap. Jika cinta adalah keindahan, maka cinta adalah perangai, cinta adalah akhlak. Dan hulu dari cinta harusnya adalah akhlak, dan sumber akhlak harusnya ke-tauhid-an. Dalam islam, ada jenjangan-jenjangannya. Sedikit tidak rapi bila bersemangat mempelajari akhlak tapi tanpa pondasi tauhid yang kokoh. Hal semacam ini yang akan menjadikan seseorang meremeh dan mendefiniskan cinta semaunya. Dari lietaratur manapun, tauhid adalah ilmu pertama yang harus difahami dan dipelajari oleh seorang muslim. Ilmu tauhid adalah pembuka hubungan antara hamba dengan Tuhannya, ilmu tauhid yang akan mengenalkan hamba dengan Tuhannya, barulah ilmu akhlak yang akan membentuk cinta seorang hamba pada Tuhannya. Mohon maaf, bila hanya mempelajari akhlak tanpa ilmu tauhid itu berarti kita belajar mencintai Allah tanpa mengenalnya. Kita akan semakin mudah mengungkap cinta pada-Nya, dan semakin mudah pula mengatasnamakn cinta atas-Nya, cinta karena-Nya, yakinkah itu cinta? Adakah itu cinta sedang kita tidak mengenal-Nya.? 

Hilir, bila memang benar itu cinta maka hilirnya akan beerbahagia. Nah, inilah dia. Kebanyakan remaja yang sudah lama mengecap rasa (disebut cinta) dengan seorang lawan jenisnya namun tiba-tiba putus, terhenti, yang ada hanya derita dan luka. Lalu yang mereka salahkan adalah cinta, rame-rame update status fb dan menyalah-nyalahkan cinta. Bila memang hilir dari dari rasa yang dianggap cinta adalah derita dan luka, maka itu merupakan indikasi kuat bahwa rasa yang dikecap selama ini adalah jelmaan dari syhwah nafsiyyah belaka. Sadarilah !

Salam Cinta,
Multazam Zakaria

*Semoga Bermanfaat !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^