Pages

PUISI HAMPA

Jumat, 20 September 2013



PUISI HAMPA; REFLEKSI DIRI

 “Jiwamu meronta
Tentang apa yang tak dapat kau sangka
Jiwamu mencari
Tentang apa yang tak kau miliki
Jiwamu melahap amarah
Hanya bisa berbaring lemah
Jiwamu yang lapar
Puisi apa saja dibuatnya terkapar
Dan hanya menjadi puisi-puisi hampa.”


            Saya tidak cukup mengerti dengan kondisi jiwa saya dua hari terakhir ini, khususnya. Yang saya tahu, saya selalu mengakhiri malamnya di teras depan, menikmati puisi-puisi Rendra, syair-syair Gus Mus dan D Zawawi Imron. Selalu saja saya tertidur dibuatnya, bak selimut hangat yang melilit diri dari udara dua malam terakhir ini. 


Saya bukan penulis puisi sebenarnya, tapi sejujurnya saya penikmat puisi, aliran apa saja. Karenanya saya terus belajar menulis puisi, meski hanya diri saya yang mungkin menikmati goresan pena saya sendiri. Tidak mengapa, ini bukan hal penting yang harus kita bicarakan di sini. 

Setiap kali saya memutar puisi-puisi itu, sungguh saya sangat menikmatinya. Tapi, tidak untuk dua malam terakhir ini. Puisi-puisi itu terasa hampa, tidak menyentuh, tidak terasa meski sesedikit saja. Subuh ketiga, pun saya terdampar dalam sadar, ada apa gerangan? Mesti ada yang salah dengan diri saya, sesekali menilisik diri dalam sendiri. 

Beberapa hari terakhir ini, memang saya melakoni beberapa peran baru, dan yang paling wah sepertinya peran sebagai entrepreneur. Sejak dulu sebenarnya, tapi baru sekarang merasakan soulnya. Mas Faiz, orang yang tak dapat terlupakan dalam hal ini. “Yesss! Akhirnya dapat restu untuk gadein emas itu.” saya terkaget membaca pesan wa ini. Ini dari mas faiz ternyata, saya tidak pernah berfikir akan sejauh ini. “Kamu sudah sedikit gila, Mas!” saya membalasnya. 

apa hubungannya entrepreneur dengan puisi? Bersyukur sekali, Tuhan menciptakan mas faiz sebagai partner bisnis saya. Setidaknya, ia dapat mengimbangi senyum saya saat ‘keadaan tidak enak’ menimpa. “Mas, kita ditimpa untuk ditempa. Risk=Rizk.  Sebesar apa yang menimpa kita, sebesar itu kualitas kita yang ditempa. Mas, sebesar resiko yang kita ambil, sebesar itu rezeki yang yang akan kita dapatkan. J” saya mengirimi mas faiz lewat pesan wa. 

Hubungannya dengan puisi? Apa yang menimpa saya dengan mas faiz, memang butuh pelarian. Dan pelarian saya sering kali adalah puisi, mengapa tidak cerpen? Atau novel? Tidak apa-apa, hanya ingin puisi saja. Tapi, entah kenapa puisi-puisi itu terasa hampa sekarang. Mungkin bukan puisinya, tapi jiwa yang mendengarkannya. Ah, saya tidak mengerti. Sejak awal saya sudah katakana bahwa saya tidak mengerti. Mari, lebih baik kesinilah, temani saya menikmati adrenalin mas faiz, kiranya dapat menajngkiti saya juga, atau siapa saja. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^