Pages

Sebelah Mata

Minggu, 16 Juni 2013

Setiap peristiwa akan menemukan momentumnya masing-masing, peristiwa itu sendiri yang akan menggiring kita. Biasanya moementum-momentum dahsyat akan lahir dari rahim peristiwa yang tidak biasa. Namun satu hal yang perlu kita renungi, sebaik dan seburuk apapun peristiwa itu, tidak sedikitpun membantu kita untuk menerka momentum apa yang akan dilahirkan.

Karenanya kita harus berhati-hati, menyepakati segala hal dengan hati kita sendiri. maka tidak jarang kita temukan, momentum emas lahir dari peristiwa hitam, gelap, perih, dan bahkan sering kita pandang sebelah mata. Pandangan yang tidak sempurna, menjadikan kita tidak menikmati keseluruhannya, sehingga banyak hal yang tidak terindra oleh mata hati. ini sebenarnya bukan perkara remeh, karena ini jua yang akan menentukan seberapa tinggi tingkat ketertipuan kita.
Buruknya laku, suara, nada, rasa dan cinta, kerap kali memanjakan mata kita untuk melihat dengan mata sempurna, mata hati kita. Padahal sedikitpun kita tidak mengetahui, momentum apa yang akan terjadi, yang akan lahir dari laku, suara, rasa, dan cinta buruk itu. kadang kala kita terlalu cepat menilai, atau terlalu tidak teliti dalam melihat, yang menjadikan kita menghinakan diri kita sendiri tanpa kita sadari, dengan menhina siapa saja.


Lalu adakah jaminan, dari laku yang baik, suara, dan rasa yang mengagumkan siapa saja, dapat melahirkan momentum keberhargaan. Dapatkah kita menjamin? Atau kamu menjamin, atau siapa saja menjamin? Tidak, sedikitpun. Meski tidak seluruhnya, namun kerap kali kita saksikan, justru yang terjadi adalah momentum degradasi dan kehancuran. Maka solat tidak lebih dari sekedar senam, tilawah qur’an tidak lebih dari sekedar seni, seperti para penyanyi mendendangkan apa saja. Maka apa yang bisa diharapkan? Setelah semua laku, suara, rasa, dan cinta itu yang mengagumkan itu ternyata tanpa makna dan kecemerlangan. Apa yang akan terlahirkan? Wajarlah bila yang alhir adalah momentum kesombongan, momentum merasa diri lebih baik, lebih solih, momentum keriya-an, momentum kesumu’ahan, momentum ke-ananiyahan, tida lain semua ini merupakan momentum kesetanan.

Maka wajarkah, kita mempertahankan pendapat masing-masing untuk tetap setia mengindra apa yang nampak saja? Wajarkah, bila kita masih memutuskan sebagi penilai siapa saja? Wajarkah. Sepertinya tidak, sepertinya kita harus memulai dari awal lagi. Membuka tabir mata sebelah yang mungkin sejak berapa puluh tahun lalu kita telah menutupnya. Saatnya kita membukanya, agar melihat betapa sempurna apa saja yang dapat kita indra, dengan mata kepala, mata hati kita. Saatnya, untuk tidak melihat siapa saja dengan sebelah mata.


Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^