Pages

Madrasatul Ula -Beginilah Caraku Merawat Berlian 1

Kamis, 04 Juli 2013

“Kau (ibu) adalah madarasah pertama bagi anakmu, semua perlakuanmu yang dapat diindrakan olehnya baik terhadap dirinya ataupun terhadap apa dan siapa saja, itulah pelajaran yang akan dicoba untuk dimengerti, untuk menyusun dirinya sendiri.”

Ummuka Madrasatul Ula Laka- Ibumu adalah madrasah pertama bagimu. Ungkapan semacam ini nampaknya amat sering kita jumpai, dengar, dan tidak tabuh lagi. Iya, ibulah madrasah pertama itu. sejak kapan? Sejak benih itu tumbuh, sejak itulah Allah memberikan peran baru kepada seorang calon ibu untuk menjadi guru bagi calon anaknya. Ini mungkin tidak asing lagi, dan kita tidak akan membicarakan tentang ini terlalu jauh. Yang ingin kita dengungkan disini adalah ketidaksadaran kita atas peran baru yang kita emban itu. agar kita tidak lagi menyalah-nyalahkan, mengutuk, dan mencerca masa kini, dalam keadaan lupa masa lalu dan masa depan, padahal ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam sebuah madrasah yang sejati.


Madrasah, sebuah kosa kata arab yang maknanya tidak sesederhana artinya. Tidak sesederhana menjadikan isim mashdar menjadi dhzarf makan, ia meneyuluruh, dan tidak dapat terlepas dari dimensi waktu yang ada. Ialah sarana tranformasi ilmu, pengetahuan, dan akhlak. Ialah pusat pendidikan, yang cukup mampu menjadikan benda mati sekalipun dapat bergerak, seakan hidup bernyawa. Ialah mesin, untuk menghasilkan produk unggulan yang dinantikan. Ia akan menjadi sentral dalam setiap penganalogian, karena ia adalah pilot dalam penerbangan pesawat, ia nahkoda dalam pelayaran, ia panglima dalam peperangan, dan ialah yang mengendalikan stir kendaraan, ialah yang yang selalu terdepan itu, menjadi tumpu dari semua penganlogian apa saja. Ialah, madrasah, dan madrasah pertama itu adalah ibu. Karena semua inilah, maka wajar jika kanjeng Nabi mamantik bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu, wajarlah!

Nah, duhai para ibu yang amat kubangga, sudahkah semua peran itu kau lakoni dengan baik? Peran itu, peran kemuliaan atasmu, peran itu yang menajadikan surga berada di bawah telapak kakimu, peran itu yang menjadi pembeda antaramu dengan ayahanda, itulah peranmu ibu. Setiap peran, tentangnya kau akan ditanya kelak oleh Ia yang telah menitipkan berlian padamu. Engkau akan ditanya, dan dimintai laporan pertanggungjawaban, itu pasti duhai para para ibu.

“Jika anak durhaka itu ada dosanya; saya kira orang tua yang menyakiti anak juga berdosa”, inilah ungkapan guru kita Ahmad Shams Madyan. Duhai para ibu, ungkapan tadi mungkin akan habis dibaca dalam sepersekian menit, namun sungguh tak kan pernah habis untuk direnungi sepanjang malam, sepanjang sujud, dan sepanjang do’amu. Mungkin kita sering mendengar akan hukuman bagi orang yang menelantarkan anak yatim, lalu bagaimana jika engkau duhai para ibu yang menelantarkan anakmu sendiri, engkaulah yang meyatimkannya.

Berlian tetaplah berlian, tapi bagaimanapun,  bila ia tak pernah kau rawat, tak pernah kau bersihkan dengan kain cinta, atau sekedar kau sirami cairan kasih, atau kau lindungi dari beragam gangguan, pastilah waktu akan menghancurkannya, menjerumuskannya. Semua perlakuanmu duahai para ibu, adalah pelajaran yang harus ia fahami. Kasihmu, cintamu, marahmu, jengkelmu, sabarmu, semua itu akan menjadi bab tersendiri dalam catatan memori keperibadiannya. Inilah yang akan menyusunnya, membentuknya, dan menentukan keperibadiannya.

Ketika tumbuh meremaja, barangkali semakin banyak menit yang ia habiskan di luar. Itulah gerak alami yang muncul, mencari madrasah yang dapat menghangatinya, karena mungkin sedikit sekali ia merasa hangat darimu. Namun inilah masa yang amat berbahaya itu, dalam pencarian madrasah baru ini, ia masih dalam keadaan labil dan tidak mempunyai cukup bekal untuk melindungi dirinya dari sekian kemungkinan buruk yang akan menghampirnya. Lingkungan mangharuskan ia untuk memilih, dan pilihan itu akan menjadi penentu atas keperibadian dan masa depannya. Tidak ada cara penyelamatan lain, engkau duhai para ibu harus masuk dalam ketegori pilihan itu, dan engkau harus menjadi yang terbaik dan dipilih olehnya.

[Semoga tidak] Jika seandainya pilihannya salah, dan tumbuhlah ia menjadi generasi brutal, nakal, pemaksiat, dan ia harus diadili oleh dunia dan akhirat. siapakah yang harus disalahkan? Pantaskah hanya dia yang disalahkan? Atau juga orang dimana ia telah dittipkan, engkau duhai para ibu? Atau jangan-jangan ia memiliki hak protes dan keberatan atasmu.

Duhai para ibu! Mungkin engkau kelak telah masuk ke dalam surga-Nya. Bisakah kau bayangkan, jika engkau diseret kembali ke neraka karena berlian yang dulu kau diamanahi kau yatimkan, telantarkan, dan acuhkan, dan kini ia mengajukan keberatan, dan engkau akan membersamainya di dalam neraka? Bisakah kau bayangkan? Jika surga anak berada di bawah kakimu, bolehkah kukatakan jua bahwa neraka ibu berada pada kaki anaknya? Saat kaki itu melangkah menuju neraka [kesesatan dunia], pernahkah kau cegah ia? Atau sebelumnya kau pernah ajarkan tentang itu padanya. Jika tidak, itulah nerakamu jua.


Duhai para ibu, aku mencintaimu, tunaikanlah peranmu. Berlianmu itu, itulah kunci surgamu dan kunci nerakamu. Love you my great mother. [Multazam Zakaria]

1 komentar

  1. berlian agar lebih berharga harus melalui proses yang panjang, dan perawatan yang baik, begitu juga dengan manusia, perlu pendidikan yang konstan.

    BalasHapus

Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^