Pages

Merindumu, Sungguh #Ramadhan

Jumat, 10 Mei 2013


Merindumu, Sungguh
Rindu
Mungkin itu kata pertama yang terhembuskan
Untuk guratan kisah masa lalu
Bersamamu
Untuk hari-hari yang tanpa kemesraan
Untuk setiap detik yang tanpa cemburu
Dulu
Untuk masa-masa yang dulu kuabai
Aku merindumu, sungguh
Dalam do’a aku terkapar
Meminta dan mengemis
Agar kiranya kau kembali menjumpaiku
Mendekap erat jiwaku
Kiranya tuhan berkehendak pertemukan kita kembali
Agar bisa kutebus
Semua silap masa lalu
Semua acuh yang mungkin buatmu pilu
Semua dusta yang mungkin buatmu terluka
Ah,
Aku tidak punya kata-kata lagi untuk kungkapkan
Aku merindumu, sungguh
Itu saja.


Bismillahirrahmanirrahim. Hamdan wa Syukron Lillah, Sholaatan wa Salaaman ‘Ala Rasulillah.
Barang kali ada yang bertanya, siapa yang yang saya rindu dalam bait puisi di atas, dan saya harap kita mengerti. Ramadhan, ia ramadahanlah yang kurindu itu, kuharap juga kita bersama merasakan rindu itu, rindu yang tersusun dari partikel-partikel penghayatan atas cinta dan penyesalan masa lalu. Ramadhan? Sengaja artikel ini saya tulis jauh-jauh sebelumnya, delapan puluh tujuh hari sebelum ia tiba, tepatnya. Lalu apa yang kita disini? Curahan hati penyesalan kah? Fadhilah puasa kah? Fadilah ramadhan kah? Tata cara menjaga puasa kah? Lafaz niat sahur dan ifthor kah? Ah, saya rasa itu semua tidak kita bicarakan disini. Tema besar kita adalah rindu, rindu yang yang sangat.

Rindu bukan bagian definisi-definisi itu, rindu adalah rasa, yang hanya bisa dirasakan tanpa didefinisikan. Definisi-definisi rindu yang sudah banyak dicoba untuk diutarakan, bagi saya itu bukanlah definisi rindu, itu hanya gambaran dan ungkapan dampak rindu itu sendiri. semakin mencari rindu, semakin kita kehilangan arah, karena definisi itu untuk ilmu, sedang rindu adalah rasa. Ia tidak butuh definisi, kalaupun ada yang mencoba untuk menginterpretasinya maka itu lebih baik ketimbang harus memaksakan menemukan definisinya.

Rindu, rindu ini tepatnya, lahir dari rahim cinta dan penyesalan. Cinta yang kadang kehadirannya tak dapat dindrakan, dirasakan, bahkan sirnanyapun tiba-tiba menorehkan luka. Cinta yang pada mulanya merupakan rahim yang telah melahirkan jutaan rasa, menjadi penggerak diri untuk bertemu dan berjumpa pada yang dicinta, maka hal semacam inilah yang biasa kita sebut rindu.

Sekedar rindukah? Tidak, rindu ini juga lahir dari penyesalan atas masa lalu. Penyesalan yang merupakan puncak penghayatan atas sebuah kesilapan yang terjadi, maka penyasalan menajdi rahim kedua yang telah melahirkan rindu ini. Menyesal? Apa yang harus disesali? Ketertipuan masa lalu, ya, ketertipuan saya menamakannya. Tertipu? Pada banyak hal dan aspek kita mengalaminya, namun kadang kita cendrung tidak sadar karena tidak pernah berusaha sesekali melakuakn penghayatan dan perenungan atas puing-puing peristiwa yang terjadi. Maka penyeslan, adalah salah satu anak makna yang lahir dari penghayatan itu dan kemudian melahirkan rindu.

Jika sedikit kembali menyusuri sungai sejarah islamnya umar bin khattab, yang merupakan titik awal dakwah jahriyyah itu dilakukan. Karena disana ada keberanian, disana ada gelora, disana ada kemantapan komitmen, disana ada anak makna pengahyatan. Lalu dari manakah lahirnya semua itu? ia lahir dari rahim cinta dan penyesalan.

Maka cinta dan penyesalan akan menjadi titik lompatan besar dalam kehidupan seorang hamba, yang seharusnya kita menyadari dan mampu mengoptimalkan momen kesadaran itu.
Penyesalan selalu diakhir? Ya, ia selalu berada di akhir, maka ia sangat berkait erat dengan awal. Awal dan akhir tidak bisa dipisahkan oleh proses, justru proses yang menjadikan mereka tetap bersatu. Maka jika penyesalan tiba dia kahir, itu artinya ada yang salah di awal, di pintu gerbang ramadhan. Awal? Itulah sebabnya mengapa artikel ini saya tulis delapan puluh tujuh hari sebelum ia tiba, sebelum tamu istimewa itu menjumpai kita dan kita menjumpainya, dalam dekap rindu dan cinta.

Agar cinta itu mampu terekspresikan, dan penyesalan itu tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang, maka kita harus meluangkan waktu khusus jauh hari sebelumnya sebagai awal menyambut kedatangannya. Sekali lagi, awal ini akan menentukan akhir dari episode cinta (ramadhan) yang kita jalani.

Lupakan sejenak beberapa istilah diatas, rindu, cinta, dan penyesalan. Saya ingin disini, kita tidak hanya berbicara tentang rasa, yang apda ujungnya akan bertumpu pada hati. Namun penting juga kiranya kita bicarakan tentang sesuatu yang memiliki dfinisi, meski setiap meiliki definsi yang berbeda-beda atasnya. Sukses, ini yang saya maksud. Saya mengerti, ketika ada sertaus orang ditanya tentang definsi suskes, maka mungkin akan tercipta seratus definsi sukses sektika. Ya, itu subjektif memang. Sukses petani dan polisi tentu berbeda.

Apa sebenarnya yang inginkan dari bahsan sukses dan waktu? Sederhana, sukses sejak dulu telah dijadikan symbol dari akhir suatu proses yang berhasil, kiranya kita juga akan menajdikannya sebagai symbol tolak ukur disini, agar anda pembanding dari penyesalan yang lahir dari kegagalan. Waktu? Waktu yang merupakan unsure penting dalam kehidupan yang bahkan Hasan Albanna menyebutkan bahwa waktu bukan hanya unsure tapi waktu adalah kehidupan itu sendiri. Maka peran waktu pastinya sangat besar dalam peraihan sebuah kesuksesan.

Masih kurang faham? Baiklah, pada bebrapa tulisan saya berbicara tentang percepatan sukses, hal-hal yang dapat digunakan untuk mepercepat kesuksesan. Beragam sekali, dan saya ingin katakan bahwa salah satu yang dubutuhkan untuk mempercepat kesuksesan itu adalah momentum. Momentum menjadi penting adanya, karenanya kita berharap ramdahan adalah salah satu dari momentum kesuksesan itu. disini kita tidak berbicara tantang fadhilah dan kelebihan-kelebihan ramadhan, saya harap kita masing-masing mengetahuinya dan mencari ilmu tentang itu.

Sukses dan waktu, mohon diperjelas lagi korelasi yang dimaksud disini!. Baik, sebenarnya yang saya inginkan dari tulisan ini adalah kita menyadari betap rmadahan menjadi momentum yang sangat berharga bagi kesuksesan yang kita inginkan. Karenanya, perlu dan harus ada perencanaan jauh hari sebelumnya, sekali lagi, alhir sellau terkaiterat dengan awal. Maka kita harus memulai awal ini dengan #amazingPlan, sehingga kita tau persis apa yangs edang kita tuju dan memalu apa tujuan itu bisa kita raih.

Sederhanya, buatlah target-target selama ramdahan nanti, sehingga kita bisa melalukan evaluasi ketika ia telah berlalu. Bagaimanapun, kita harus tiba sebelum berangkat, begitu kaidah yang saya terima. Artinya, rencana dan target itu adalah apa yang kita inginkan setelah ramadhan berlalu, itulah yang dimaksud tiba sebelum berangkat. Bunda Marwah telah mengupas tuntas tentang #PowerOfPlanning, saya harap kita bisa membacanya masing-masing, sehingga kita tidak membicarakannya disini.
Target-target yang yang akan kita buat hendaknya terdiri dari tiga aspek ini, spiritual, emosional, dan intelektual.
Contoh table target ramadhan Multazam Zakaria
Spritual
Emosianal
Intelektual
Meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah.
Sarana: memperbanyak tilawah qur’an, melatih solat khusyu’, memperbanyak shalawat dan istigfar, dan lain sebagianya
Meningkatkan kesadran atau kesolihan sosial.
Sarana: member bantuan ifthor bagi panti asuhan sekitar, memberikan paket lebaran bagi kaum dhuafa, dan lain sebagainya.
Menyetor 15 juz hafalan al-Qur’an, memahaminya, dan menyeleseikan kajian salah satu kitab turats.

Yah, inilah yang bisa kita bicarakan pada saat ini. Semoga bermafaat. Mohon doa para pembaca, agar target ramdahan saya bisa tercpai, khsususnya setoran 15 juz hafalan al-Qur’an. Amiin.

Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^