PUISI HAMPA;
REFLEKSI DIRI
“Jiwamu merontaTentang apa yang tak dapat kau sangkaJiwamu mencariTentang apa yang tak kau milikiJiwamu melahap amarahHanya bisa berbaring lemahJiwamu yang laparPuisi apa saja dibuatnya terkaparDan hanya menjadi puisi-puisi hampa.”
Saya tidak cukup mengerti dengan
kondisi jiwa saya dua hari terakhir ini, khususnya. Yang saya tahu, saya selalu
mengakhiri malamnya di teras depan, menikmati puisi-puisi Rendra, syair-syair
Gus Mus dan D Zawawi Imron. Selalu saja saya tertidur dibuatnya, bak selimut
hangat yang melilit diri dari udara dua malam terakhir ini.
Saya bukan penulis puisi sebenarnya, tapi
sejujurnya saya penikmat puisi, aliran apa saja. Karenanya saya terus belajar
menulis puisi, meski hanya diri saya yang mungkin menikmati goresan pena saya
sendiri. Tidak mengapa, ini bukan hal penting yang harus kita bicarakan di
sini.
Setiap kali saya memutar puisi-puisi itu,
sungguh saya sangat menikmatinya. Tapi, tidak untuk dua malam terakhir ini.
Puisi-puisi itu terasa hampa, tidak menyentuh, tidak terasa meski sesedikit
saja. Subuh ketiga, pun saya terdampar dalam sadar, ada apa gerangan? Mesti ada
yang salah dengan diri saya, sesekali menilisik diri dalam sendiri.
Beberapa hari terakhir ini, memang saya
melakoni beberapa peran baru, dan yang paling wah sepertinya peran sebagai
entrepreneur. Sejak dulu sebenarnya, tapi baru sekarang merasakan soulnya.
Mas Faiz, orang yang tak dapat terlupakan dalam hal ini. “Yesss! Akhirnya dapat
restu untuk gadein emas itu.” saya terkaget membaca pesan wa ini. Ini dari mas
faiz ternyata, saya tidak pernah berfikir akan sejauh ini. “Kamu sudah sedikit
gila, Mas!” saya membalasnya.
apa
hubungannya entrepreneur dengan puisi? Bersyukur sekali, Tuhan menciptakan mas
faiz sebagai partner bisnis saya. Setidaknya, ia dapat mengimbangi senyum saya
saat ‘keadaan tidak enak’ menimpa. “Mas, kita ditimpa untuk ditempa.
Risk=Rizk. Sebesar apa yang menimpa
kita, sebesar itu kualitas kita yang ditempa. Mas, sebesar resiko yang kita
ambil, sebesar itu rezeki yang yang akan kita dapatkan. J” saya
mengirimi mas faiz lewat pesan wa.
Hubungannya dengan puisi? Apa yang menimpa
saya dengan mas faiz, memang butuh pelarian. Dan pelarian saya sering kali adalah
puisi, mengapa tidak cerpen? Atau novel? Tidak apa-apa, hanya ingin puisi saja.
Tapi, entah kenapa puisi-puisi itu terasa hampa sekarang. Mungkin bukan
puisinya, tapi jiwa yang mendengarkannya. Ah, saya tidak mengerti. Sejak awal
saya sudah katakana bahwa saya tidak mengerti. Mari, lebih baik kesinilah,
temani saya menikmati adrenalin mas faiz, kiranya dapat menajngkiti saya juga,
atau siapa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^