Perdebatan tentang hukum mengucapkan ‘selamat natal’ bagi seorang
muslim sepertinya sudah menjadi topik diskusi tahunan, kita bisa saksikan
kenyataan ini. Perbedaan dalam fiqih ‘amaliyah rupanya sudah menjadi
keniscyaan, inilah yang mengantarkan kita sehingga mengenal empat madzhab: Hanbali,
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi.
Toleransi atau yang dikenal
dengan tasaamuh dalam Islam
adalah sikap mulia yang harus dimiliki seorang mukmin. Harus diakui, domain
toleransi ini hanya pada koridor sosial kemasyarakatan, adapun dalam aqidah dan
ketauhidan toleransi tidak berlaku.
Gejala hiperopia atau rabun dekat, benar-benar kita saksikan
hampir telah mewabah di tubuh ummat ini. Jika boleh meminjam peribahasa ‘semut
di seberang lautan terlihat tapi gajah di depan mata tiada terlihat’,
sepertinya keadaan inilah yang sedang kita alami. Kita tiba-tiba muncul dengan
sebentuk gairah ketika berada dalam diskusi-diskusi yang membahas tentang
perbedaan pendapat dalam hal boleh atau tidak mengucapkan selamat natal bagi
seorang muslim, namun tiba-tiba kita harus menutup mata dengan kondisi sosial
kemasyarakatan yang paling dekat dengan kita, keluarga, tetangga, dan seterusnya hanya karena berbeda madzhab,
organisasi massa (ormas), partai, dan bahkan hanya karena berbeda guru ngaji.
Perbedaan ormas atau madzhab. Kita tidak dapat menutup mata atas
keyataan ini, sudah berapa banyak konflik antar sesama muslim hanya karena
perbedaan ormas dan madzhab. Sudah berapa banyak perdebatan yang dipenuhi
kata-kata kasar dan kotor antar sesama muslim hanya kerana perbedaan partai dan
guru ngaji. Saling menyalahkan, masing-masing merasa diri paling benar, bahkan
sampai pada level takfir atau mengkafirkan, antar sesama muslim.
Lalu dimana nilai-nilai toleransi yang kita agung-agungkan, tenggang
rasa, sikap saling menghargai dan menghormati. Bagai mencari jarum pada
tumpukan jerami. Lalu mengapa begitu mudah kita ‘jagokan’ toleransi kepada yang
berbeda agama? Apakah sesama muslim tidak berhak menikmati manisnya buah
toleransi yang selama ini kita tanam pada lahan kehidupan sosial dan
bermasyarakat? Bukankah keempat imam madzhab yang kita anut telah mencontohkan
nilai-nilai toleransi dianatara mereka? Ini adalah ‘pekerjaan rumah’ yang harus
segera kita jawab dan selesaikan.
Penulis ingin mengajak kita merenungi sikap tasaamuh di antara
keempat madzhab di atas. Empat madzhab sunni tidak pernah mengklaim bahwa diri
merekalah yang paling benar sedang yang lainnya adalah sesat. Imam Maliki
pernah ditawari khalifah untuk menyatukan ummat islam dengan berpegang pada
kitab al-Muwattho’ nya, tapi beliau menolak karena menghargai pendapat
hasil ijtihad para ulama yang
lain. Imam Syafi’i bahkan pernah mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah manusia
biasa yang mungkin saja hasil ijtihad nya salah, karenanya boleh
ditinggalkan untuk mengikuti yang lain. Begitu juga dengan imam Hanafi dan Hanbali,
mereka tidak pernah mengklaim bahwa pendapat merekalah yang paling benar.
“Perumpamaan orang islam di dalam sayang menyayangi dan kasih
mengasihi adalah bagaikan satu tubuh yang apabila ada salah satu anggota yang
sakit maka anggota tubuh yang lain akan merasakannya yaitu tidak bisa tidur dan
merasa demam.” (H.R. Muslim). Jika membaca hadits ini, terlihatlah betapa kita
begitu memperhatikan dan merawat tubuh orang lain, tapi menyakiti dan melukai
tubuh kita sendiri.
Sebagai penutup, “Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil (semena-mena). Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
Dan taqwalah kepad Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(Q.S. AlMaidah:8). Gejala hiperopia ini disebabkan oleh kedangkalan kita
terhadap ilmu, dan agama. sehingga seringkali dengan mudah kita menerapkan
nilai-nilai toleransi antar agama, tapi justru meninggalkannya antar sesama muslim.
Dan pada akhirnya, domain toleransi tetaplah pada koridor sosial dan
kemasyarakatan, tidak berlaku dalam hal aqidah dan ketauhidan. “Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku".
(QS. AlKafirun:6). Wallahua’lam.