WAJAHMU PADA BOLA MATAKU
(Bojongsari, 2/10/2012. 21:05 WIB)
“Astagfirullahal ‘Azhim, ampunilah hamba-Mu ini Ya Rabb.
Hanya kalimat ini yang mampu mereda kegelisahan ini, bimbang ini. Ya Rabb,
hamba menyadari betapa iman ini masihlah sangat lemah, betapa taqwa ini
masihlah sangat rendah, karenanya kumohon rahmat dan bimbingan-Mu. Tuntunlah
hamba dalam menjalani setiap detik kehidupan ini.”(KhibrulQolam
al-Jary)
Sering kali hati kita merasa merdeka, bangga, puas dengan
penghambaan yang kita lakukan. Padahal sesungguhnya munculnya rasa semacam itu
menjadi ciri kehinaan yang masih melekat pada diri kita. Acap kali kita
merendah di hadapan manusia, terlihat sopan dan santun, namun saat itu juga kita menyebut-nyebut perendahan itu dihadapan-Nya.
Bukan justru lebih merendah lagi di hadapan-Nya namun justru membangga dan
merasa lega. “Orang mulia tidak akan merasa dirinya mulia, karena merasa
diri mulia itu adalah sebuah kehinaan.” Begitulah dipesankan oleh Syeikh
Rohimuddin Nawawy saat mengisi kajian di masjid kampungku dulu. Hal-hal semacam
ini memang sering membuat kita tertipu, sehingga ketidakberdayaanpun mulai
menghampiri.
Tulisan di atas hanya sebaga pengantar saja, agar kita lebih
menyadari kembali hakikat penghambaan kepada-Nya.
Tak ada yang beda, tidak ada yang spesial dengan malam ini.
Hujan sore tadi mengantarkan ku pada malam yang sunyi. Hawa dingin mulai memeluk
jiwaku yang rapuh ini, yang sedang bimbang ini. Seperti biasa salat isya
berjam’ah bersama kawan-kawan telah usai terlaksanakan. Namun, seperti ada
sesuatu yang mengganjal, ada titik-titik kegelisahan yang kian terasa.
sembahyang malam ini hambar tanpa penghayatan. Ingin menyendiri, akupun berlari
menyusuri sayap jalan raya. Tak ada yang bisa memberi jawaban tentang mengapa
gelisah ini kian bertambah. Hanya ada polusi kendaraan dan para pedagang yang
berjejeran. Bulan, bintang, dan langitpun nampaknya hanya membisu. Kuputuskan
kembali ke rumah kos dan terduduk di hamparan karpet yang tergeletak di teras
kos. Mulai kususuri asal-muasal kegelisahan ini muncul, fikiran dan hati mulai
bentrok karena tak sependapat. Fikiran berkata “bukankah engkau tetap
melaksanakan solat lima waktu, dan engkau iringi dengan duha, tahajjud dan
shiyam?. Itu berarti engkau sudah shalih”. Lalu hatipun berkata dengan
lembut tanpa menyinggung sang fikiran yang berasal dari sang akal, hati berkata
seperti ini, “hai diri, sudah yakinkah engkau semua ibadah yang kau perbuat
engkau lakukan hanya Karena Allah? Jika begitu, mengapa engkau merasa gelisah?
Apakah engkau sudah yakin ibadah-ibadahmu itu diterima-Nya sehingga engkau
mulai merasa bangga dengan amal-amalmu.? Memang betul, telah berkali-kali
engkau ungkapkan CINTA kepada-Nya, namun cinta apakah yang engkau ungkapkan
itu, cinta sejatikah atau hanya sisa saja dari cintamu sesama manusia? Inikah
yang telah membuatmu gelisah saat ini? Tanyakan kembali pada dirimu, karena
nafsu dan syahwat seringkali menjelmakan diri sebagai cinta di hadapanmu.
Engkau menganggapnya cinta, padahal itu syahwat dan nafsu yang sedang
mengintaimu. Ingatlah kembali wahai diri…!” begitu panjang hati menceramahi
jiwa ini, kata-katanaya menggetarkan, mengingatkanku pada seorang hamba Allah
yang sangat kukagumi meski tak sempat menjumpainya, Sayyidah Rabi’ah
Al-adawiyyah. Sayyidah Rabi’ah adalah hamba yang sangat tinggi imannya, kuat
ketaqwaannya, maka wajarlah dari mulut beliau pernah keluar kata-kata seperti
ini, “Ya Allah Ya Tuhanku, jika segala ibadah yang kulakukan ini karena aku
mengharap surga-Mu, maka tutuplah pintu surga untukku. Dan jika segala ibadah
yang kulakukan karena aku takut dengan neraka-MU, maka bukalah lebar-lebar
pintu neraka untukku. Namun jika segala ibadah ini kulakukan hanya karena-Mu,
maka istiqomahkanlah aku.” Subhanallah, menggetarkan sekali perkataan
beliau. Suatu hari beliau dengan langkah terburu menuju pasar, tangan kanannya
memegang obor api dan tangan kirinya memegang seember air. Orang yang
melihatnya kebingungan, mengapa rabi’ah seperti itu. “Hai manusia, dengan obor
ini, ingin kubakar syurga, agara tidak ada lagi yang beribadah karenanya.
Dengan seember air ini, ingin kupadamkan neraka, agar tak ada lagi yang
beribadaha karena menakutinya.” Rabi’ah berteriak penuh lantang.
Akupun mulai teringat sabda Sang Junjungan Alam Nabi Muhammad
Saw, “Aku tidak meninggalkan cobaan yang lebih besar setelah wafatku bagi
kaum pria melainkan fitnah wanita”.
Hai jiwa..! cobalah kau hubungkan kembali kegelisahanmu ini
dengan sabda Sang Nabi saw. Sudahkah engkau berhasil melawan cobaan itu?.
Astagfirullah, mata. Ia, ternyata mata ini adalah kata kunci dari kegelisahan
ini. Mata, mata yang selama ini tak pernah kusadari telah menjadi gerbang besar
sebagi pintu masuknya noktah-noktah kegelisahan ke istana hati. Mata ini, mata
ini yang selama ini menjadi sungai yang mengalirkan air-air dosa yang
membungkus dirinya dengan kain CINTA. Astagfirullahal azhim, tak terhitung
sudah berapa kali mata ini memandang dan mengagumi ketertipuan jiwa. Mengagumi
makhluk tapi pada saat yang sama kosong dari ingatan kepada Sang Khalik.
Hai mata, engkau tertipu. Nafsu dan Syahwat telah berpakaian
seperti cinta, dan engkaupun mengaguminya. Andai saja yang engkau kagumi itu
benar cinta, maka tak mungkin jiwa ini akan rasakan kegelisahan semacam ini.
Andai saja itu benar cinta, maka cinta itu pasti berada dibawah cinta Tuhanmu.
Tak ada cinta hakiki yang dengannya terlupa pencipta cinta itu sendiri, Sang
Maha Pencinta, Allahu Akbar. Sadarlah segera, bergegaslah kembali kepada-Nya.
Sekarang juga, rengkuh cinta-Nya dengan memesrai setiap detik bersama-Nya.
Wallahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^