ASURANSI (KONVENSIONAL), HARAM?
Multazam Zakaria, Ketua Umum Islamic
Economcs Forum (IsEF) SEBI
Bismillahirrahmanirrahim. Beberapa hari lalu saya menulis
tentang riba dan bunga bank. Pada kesempatan ini saya ingin mengajak kita semua
bertamasya ke ‘taman asuransi’. Beberapa waktu lalu SIBER-C dan ISEF
menyelenggarakan agenda rutin bulanan DESK (Diskusi Ekonomi Syaroah
Kontemporer) dengan mengusung tema “Asuransi”.
Asuransi menjadi sangat ‘menggoda’ untuk kita ‘telanjangi’
dan analisis, khususnya menggunakan kacamata muamalat islam, karena 218 juta
penduduk Indonesia beragama islam. Banyak sudut pandang dan opini yang agak
menggelitik dalam ruang diskusi, tapi di sini sebagaimana saya tulis di atas
kita akan lebih fokus ‘menelanjangi’ asuransi (konvensional) menggunakan
kacamata mualat islam. Sehingga selepas membaca utuh tulisan ini, anda akan
dapat menyimpulkan tentang hukum asuransi (konvensional). Tidak hanya itu,
mungkin ini akan menjadi pertimbangan bagi anda untuk menentukan memakai
asuransi konvensional atau asuransi syariah (asuransi syariah tidak akan kita
bahsa di sini, edisi berikutnya, insyaAllah).
Let’s go!
Di dalam hukum muamalah (interkasi) islam ada beberapa
indikator yang menjadi ukuran kebolehan dan ketidakbolehan suatu transaksi
dilakukan. Diantara indikator yang menyebabkan tidakbolehnya (haram) suatu
transaksi adalah: (1) Gharar; (2) Riba dan (3) Tidak Adil- Zhalim. Kita pake
satu-satu ya!
Apa gerangan makhluk yang bernama
gharar itu? simpelnya adalah “ketidakjelasan yang mengakibatkan kerugian- ada
yang terzalimi”, atau bisa juga disebut incomplete information.
Benarkah asuransi konvensional
mengandung unsure gharar? Benar! Dimana saja letak unsure gharar dalam asuransi
konvensional? Yang baru saya ketahui ada 2 hal (silahkan ditambahkan bagi yang
tahu lebih) yang mengandung unsure gharar dalam asuransi konvensional: (1)
Jumlah atau tempo premi yang dibayarkan. Mengapa demikian? Sebab pembayaran
premi didasarkan atas usia peserta (tertanggung). Sementara usia yang
mengetahui kepastiannya hanya Allah swt (Gharar bagi selain Allah). Sehingga bisa
dikatakan kuantitas (jumlah premi yang dibayarkan) yang harus dibayrakan
tertanggung tidak pasti jumlahnya. Jika demikian maka menjadi kuranglah salah
satu rukun dalam jual beli (jual beli- karena asuransi konven menggunakan akad
tabaduli) yaitu adanya kepastian harga; (2) terdapat dapat barang atau benda
yang diperjualbelikan (akad tabaduli). Dalam asuransi ada istilah transfer
risk yaitu yang diperjualbelikan adalah risiko itu sendiri. Sementara
risiko tidak jelas (gharar) kualitas dan kuantitasnya.
Apa gerangan riba itu? simpelnya
“alfadhlu alkhali ‘ani al-‘iwadh- kelebihan yang didapatkan tanpa ada
sandaran/pengganti”. Apakah riba ini termasuk dosa besar? Oh, bukkan main.
Dalam suatu hadits Rasul saw mengatakan
dosa 1 dirham riba sama denga dosa berzinna sebanyak 36 kali. Dan bahkan semua
agama samawi dan para filsuf sekelas Aristotels dan Plato sepakat tentang
haramnya riba.
Apakah asuransi konvensional
mengandung riba? Iya! Diamanakah letak ribanya? Semua premi yang disetorkan
oleh peserta menjadi milik perusahaan (kejam!) dan perusahaan berhak
menginvestasikannya dimana saja tanpa adanya batasan-batasan syariah. Dan bisa
dikatakan seluruh perusahaan asuransi menyimpan dan menginvestasikan dananya
pada hal-hal yang berhubungan dengan riba dan bunga. Bahkan Keputusan Menteri
Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi menunjukkan semua jenis investasi yang diatur dalam
peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Mengerikan? Sangat!
3.
Ketidakadilan (Dana Hangus)
Keadilan menjadi salah satu pondasi
dasar dalam transaksi islam. Karena ‘ketidakhadiran’ unsur adil dalam sebuah
transaksi akan menjadikan transaski tersebut fasid atau haram.
Apakah asuransi konvensional mengandung
unsure ketidakadilan? Iya! Dimana letak ketidakadilannya itu? dalam asuransi
konven ada istiah “dana hangus”. Setidaknya (jika saya salah, silahkan
dikoreksi) pada beberapa keaadan “dana hangus” akan berlaku: (1) peserta
mundur. Ketika peserta memundurkan diri baik karena sudah tidak sanggup
membayar premi atau Karena hal lain dan peserta melum berhak mendapatkan klime
maka seluruh premi yang telah disetorkan akan hangus, dengan kata lain semua
itu menjadi milik perusahaan, total!; (2) jika telah sampai reserving period
sementara peserta belum dapat mengajukan klime maka semua dana premi yang
disetorkan peserta hangus, dengan kata lain menjadi milik perusahaan (sadis!).
Demikian saudara sekalian, inilah beberapa hasil ‘penelajangan’
asuransu konvensional dari kacamata muamalah islam dengan menggunakan beberapa
indikator yaitu riba, gharar dan ketidakadilan.
Tanggapan klasik yang biasanya muncul dalam setiap tulisan
saya khususnya tentang komparasi syariah vs konvensinal seperti ini: “ah, sama
aja. Syariah Cuma diajdiin topeng bair laku, padahal mah ujung-ujungnya sama
aja. Bahkan lebih parah yang pake embel-embel syariah. Ribet pula!”.
Melalui media ini untuk kesekian kalinya ingin kukatakan: “saudaraku,
kita adalah muslim. Dan keislaman kita dapat diukur dari seberapa banyak ajaran
islam yang mampu kita terapkan dalam kehidupan kita. Dan islam adalah agama
yang syumul atau lengkap dan komprehensif. Tidak hanya mengatur tentang
sholat, wudhu, dan sejenisnya. Tapi juga mengatur tentang transaksi keuangan
dan prekonomian. Rasulullah saw adalah seorang ahli ibadah tapi juga seorang
ekonom sejati, ekonom robbani yang menjunjung tinggi etika-etika bertaransaksi
seperti menghindari riba, gharar dan ketidakadilan. Belia dengan sangat keras
dan tegas melarang unsure-unsur tersebut. Lalu jika memang lemabaga-lembaga
keuangan syariah di negeri kita kini belum mampu sepenuhnya menerapkan prinsip
syariah maka sikap kita harusnya ikut berkontribusi agar ke depan mereka (LKS)
dapat menerapakan prinsip syariah dengan total dan sempurna. Bukan justru
menjelek-jelekan atau menghina. Ada sebuah kaidah fikih yang megatkan (koreksi
jika bahasa arabnya kurang tepat) ma la yudraku kulluh ya yutraku kulluh- sesuatu
yang belum dapat diterapkan sepenuhnya (seluruhnya) tidak berarti meninggalkan
keseluruhannya”.
Semoga mencerahkan. Jika ada kebenaran dalam tulisan ini,
sumbernya dari Allah, jika ada kesalahan maka itu bersumber dari saya pribadi.
Wallahua’la wa a’lam.