“Kau (ibu) adalah madarasah pertama bagi anakmu, semua perlakuanmu
yang dapat diindrakan olehnya baik terhadap dirinya ataupun terhadap apa dan
siapa saja, itulah pelajaran yang akan dicoba untuk dimengerti, untuk menyusun
dirinya sendiri.”
Ummuka Madrasatul Ula Laka- Ibumu
adalah madrasah pertama bagimu. Ungkapan semacam ini nampaknya amat sering kita
jumpai, dengar, dan tidak tabuh lagi. Iya, ibulah madrasah pertama itu. sejak
kapan? Sejak benih itu tumbuh, sejak itulah Allah memberikan peran baru kepada
seorang calon ibu untuk menjadi guru bagi calon anaknya. Ini mungkin tidak
asing lagi, dan kita tidak akan membicarakan tentang ini terlalu jauh. Yang
ingin kita dengungkan disini adalah ketidaksadaran kita atas peran baru yang
kita emban itu. agar kita tidak lagi menyalah-nyalahkan, mengutuk, dan mencerca
masa kini, dalam keadaan lupa masa lalu dan masa depan, padahal ketiganya tidak
dapat dipisahkan dalam sebuah madrasah yang sejati.
Madrasah, sebuah kosa kata arab yang maknanya tidak sesederhana
artinya. Tidak sesederhana menjadikan isim mashdar menjadi dhzarf
makan, ia meneyuluruh, dan tidak dapat terlepas dari dimensi waktu yang
ada. Ialah sarana tranformasi ilmu, pengetahuan, dan akhlak. Ialah pusat pendidikan,
yang cukup mampu menjadikan benda mati sekalipun dapat bergerak, seakan hidup
bernyawa. Ialah mesin, untuk menghasilkan produk unggulan yang dinantikan. Ia
akan menjadi sentral dalam setiap penganalogian, karena ia adalah pilot dalam
penerbangan pesawat, ia nahkoda dalam pelayaran, ia panglima dalam peperangan,
dan ialah yang mengendalikan stir kendaraan, ialah yang yang selalu terdepan
itu, menjadi tumpu dari semua penganlogian apa saja. Ialah, madrasah, dan
madrasah pertama itu adalah ibu. Karena semua inilah, maka wajar jika kanjeng
Nabi mamantik bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu, wajarlah!
Nah, duhai para ibu yang amat kubangga, sudahkah semua peran itu
kau lakoni dengan baik? Peran itu, peran kemuliaan atasmu, peran itu yang menajadikan
surga berada di bawah telapak kakimu, peran itu yang menjadi pembeda antaramu
dengan ayahanda, itulah peranmu ibu. Setiap peran, tentangnya kau akan ditanya
kelak oleh Ia yang telah menitipkan berlian padamu. Engkau akan ditanya, dan
dimintai laporan pertanggungjawaban, itu pasti duhai para para ibu.
“Jika anak durhaka itu ada dosanya; saya kira orang tua yang
menyakiti anak juga berdosa”, inilah ungkapan guru kita Ahmad Shams Madyan.
Duhai para ibu, ungkapan tadi mungkin akan habis dibaca dalam sepersekian
menit, namun sungguh tak kan pernah habis untuk direnungi sepanjang malam,
sepanjang sujud, dan sepanjang do’amu. Mungkin kita sering mendengar akan
hukuman bagi orang yang menelantarkan anak yatim, lalu bagaimana jika engkau
duhai para ibu yang menelantarkan anakmu sendiri, engkaulah yang meyatimkannya.
Berlian tetaplah berlian, tapi bagaimanapun, bila ia tak pernah kau rawat, tak pernah kau
bersihkan dengan kain cinta, atau sekedar kau sirami cairan kasih, atau kau
lindungi dari beragam gangguan, pastilah waktu akan menghancurkannya,
menjerumuskannya. Semua perlakuanmu duahai para ibu, adalah pelajaran yang
harus ia fahami. Kasihmu, cintamu, marahmu, jengkelmu, sabarmu, semua itu akan
menjadi bab tersendiri dalam catatan memori keperibadiannya. Inilah yang akan
menyusunnya, membentuknya, dan menentukan keperibadiannya.
Ketika tumbuh meremaja, barangkali semakin banyak menit yang ia
habiskan di luar. Itulah gerak alami yang muncul, mencari madrasah yang dapat
menghangatinya, karena mungkin sedikit sekali ia merasa hangat darimu. Namun
inilah masa yang amat berbahaya itu, dalam pencarian madrasah baru ini, ia
masih dalam keadaan labil dan tidak mempunyai cukup bekal untuk melindungi
dirinya dari sekian kemungkinan buruk yang akan menghampirnya. Lingkungan
mangharuskan ia untuk memilih, dan pilihan itu akan menjadi penentu atas
keperibadian dan masa depannya. Tidak ada cara penyelamatan lain, engkau duhai
para ibu harus masuk dalam ketegori pilihan itu, dan engkau harus menjadi yang
terbaik dan dipilih olehnya.
[Semoga tidak] Jika seandainya pilihannya salah, dan tumbuhlah ia
menjadi generasi brutal, nakal, pemaksiat, dan ia harus diadili oleh dunia dan
akhirat. siapakah yang harus disalahkan? Pantaskah hanya dia yang disalahkan?
Atau juga orang dimana ia telah dittipkan, engkau duhai para ibu? Atau
jangan-jangan ia memiliki hak protes dan keberatan atasmu.
Duhai para ibu! Mungkin engkau kelak telah masuk ke dalam surga-Nya.
Bisakah kau bayangkan, jika engkau diseret kembali ke neraka karena berlian
yang dulu kau diamanahi kau yatimkan, telantarkan, dan acuhkan, dan kini ia
mengajukan keberatan, dan engkau akan membersamainya di dalam neraka? Bisakah
kau bayangkan? Jika surga anak berada di bawah kakimu, bolehkah kukatakan jua
bahwa neraka ibu berada pada kaki anaknya? Saat kaki itu melangkah menuju
neraka [kesesatan dunia], pernahkah kau cegah ia? Atau sebelumnya kau pernah
ajarkan tentang itu padanya. Jika tidak, itulah nerakamu jua.
Duhai para ibu, aku mencintaimu, tunaikanlah peranmu. Berlianmu
itu, itulah kunci surgamu dan kunci nerakamu. Love you my great mother. [Multazam Zakaria]
berlian agar lebih berharga harus melalui proses yang panjang, dan perawatan yang baik, begitu juga dengan manusia, perlu pendidikan yang konstan.
BalasHapus