Setiap peristiwa akan menemukan momentumnya
masing-masing, peristiwa itu sendiri yang akan menggiring kita. Biasanya moementum-momentum
dahsyat akan lahir dari rahim peristiwa yang tidak biasa. Namun satu hal yang
perlu kita renungi, sebaik dan seburuk apapun peristiwa itu, tidak sedikitpun
membantu kita untuk menerka momentum apa yang akan dilahirkan.
Karenanya kita harus berhati-hati,
menyepakati segala hal dengan hati kita sendiri. maka tidak jarang kita
temukan, momentum emas lahir dari peristiwa hitam, gelap, perih, dan bahkan
sering kita pandang sebelah mata. Pandangan yang tidak sempurna, menjadikan
kita tidak menikmati keseluruhannya, sehingga banyak hal yang tidak terindra
oleh mata hati. ini sebenarnya bukan perkara remeh, karena ini jua yang akan
menentukan seberapa tinggi tingkat ketertipuan kita.
Buruknya laku, suara, nada, rasa dan
cinta, kerap kali memanjakan mata kita untuk melihat dengan mata sempurna, mata
hati kita. Padahal sedikitpun kita tidak mengetahui, momentum apa yang akan
terjadi, yang akan lahir dari laku, suara, rasa, dan cinta buruk itu. kadang
kala kita terlalu cepat menilai, atau terlalu tidak teliti dalam melihat, yang
menjadikan kita menghinakan diri kita sendiri tanpa kita sadari, dengan menhina
siapa saja.
Lalu adakah jaminan, dari laku yang
baik, suara, dan rasa yang mengagumkan siapa saja, dapat melahirkan momentum
keberhargaan. Dapatkah kita menjamin? Atau kamu menjamin, atau siapa saja
menjamin? Tidak, sedikitpun. Meski tidak seluruhnya, namun kerap kali kita
saksikan, justru yang terjadi adalah momentum degradasi dan kehancuran. Maka solat
tidak lebih dari sekedar senam, tilawah qur’an tidak lebih dari sekedar seni,
seperti para penyanyi mendendangkan apa saja. Maka apa yang bisa diharapkan? Setelah
semua laku, suara, rasa, dan cinta itu yang mengagumkan itu ternyata tanpa
makna dan kecemerlangan. Apa yang akan terlahirkan? Wajarlah bila yang alhir
adalah momentum kesombongan, momentum merasa diri lebih baik, lebih solih,
momentum keriya-an, momentum kesumu’ahan, momentum ke-ananiyahan, tida lain
semua ini merupakan momentum kesetanan.
Maka wajarkah, kita mempertahankan
pendapat masing-masing untuk tetap setia mengindra apa yang nampak saja? Wajarkah,
bila kita masih memutuskan sebagi penilai siapa saja? Wajarkah. Sepertinya tidak,
sepertinya kita harus memulai dari awal lagi. Membuka tabir mata sebelah yang
mungkin sejak berapa puluh tahun lalu kita telah menutupnya. Saatnya kita
membukanya, agar melihat betapa sempurna apa saja yang dapat kita indra, dengan
mata kepala, mata hati kita. Saatnya, untuk tidak melihat siapa saja dengan
sebelah mata.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^