KUHP: Kasi Uang Habis Perkara | Kemana Harus Mengadu?
Multazam
Zakaria | Almadani
Integrated Islamic Boarding School | SEBI School of Islamic Economics
picture souerce: http://olahraga.kompasiana.com |
Saat
hendak berbicara tentang hukum, tidak mudah memang. Bukan karena rumit, melainkan karena kita telah
menjelma menjadi skeptic atas kepastian hukum itu sendiri. Yang ada
hanya kebuntuan, yang tersisa hanya citra buram para penegak hukum yang sibuk
dengan kalkulasi komisi, kurang lebih begitulah Ibu Megawati Soekrnoputri
menulis dalam sebuah pengantar buku Trimoelja D. Soerjadi “Kendala
Menegakkan Kebenaran dan Keadilan”.
Memang,
proses reformasi dan demokratisasi yang kita harapkan, tidak akan dapat berdiri
tegak dia atas pilar-pilar yang rapuh. Yang ada hanya kecemesan, kebimbangan,
dan kegamangan. Yang penting “tuan” senang, semua bisa diatur asal ada uang.
Cobalah,
misalkan saja kita belum muak menengok beragam jenis media massa yang ada di
pertiwi ini. Setelah membaca Koran harian, mendengar radio,dan menonton berita
televisi, barangkali akan tercipta satu ekspresi yang sama di tengah
kemajemukan Indonesia, satu lukisan dari beragam jenis kejadian yang terjadi,
hanya “geleng kepala”. “Geleng kepala” menjadi pemersatu ekspresi bangsa ini,
mungkin ini jua yang kita pahami saat menerjemahkan Bhineka Tunggal Ika.
Diantara
penyebab kesamaan ekspresi “geleng kepala” itu adalah suap dan pungutan liar
(pungli). Suap seakan budaya dan tradisi dalam lingkungan birokrasi yang harus
dijaga, diabadikan, dan dilestarikan oleh para pelakunya, sehingga tak kunjung
punah. Bahkan, ia sudah menjadi darah daging dan pelumas berputarnya mesin birokrasi
Negara. Partai politik telah berhasil menumbuhkan “ketidak-percayaan” rakyat,
frustasi kemiskinan, yang mengakibatkan kebijakan bukan lagi kebajikan, dan stetmen
politik hanya akan menjadi nasi basi yang tak dihiraukan rakyat. Tidak cukup
dengan partai politik, lembaga penegak hukum juga ternyata ikut berkontribusi
besar dalam menumbuhkan mental skeptis masyarakat terhadap hukum dan penegak
hukum itu sendiri. Maka wajar mantan hakim agung Bismar Siregar berujar “Siapa
yang diberantas, siapa yang memberantas, sama-sama koruptor.” Bukankah Prof.
Asikin Kusumatmadja juga pernah mengungkapkan adanya mafia peradilan yang
melibatkan lima puluh persen hakim-hakim?
Sejak
zaman presiden Soeharto, sejak pencanangan atas pemangkasan dan penghapusan
pungli, menggambarkan jelas wajah bangsa kita, betapa suap dan pungli telah
menjadi bedak pavorit yang berujung pada “pertopengan” yang tidak semakin
jelas. Bagaimana kini? Akankah suap dan pungli benar-benar sudah menggurita di
tubuh birokrasi Negara? Akankah ia bagai tumor ganas yang akarnya sudah menjalar
ke segala penjuru dan instansi? Dan akankah ia merupakan bagian dari nilai
hidup yang sedang kita “hayati”?
Bagaimanapun,
kita tidak bisa menutup mata begitu saja. Korupsi telah menjadi “bedak arang”
wajah bangsa kita, seakan menjadi libido politik yang tak pernah turun, malah
justru semakin naik dan tinggi. Suap dan pungli ternyata bukan hanya
menggerogoti tubuh birokrasi Negara, namun jua telah merajalela di sektor
swasta. KUHP dan UU No. 3/1971 ternyata belum menajangkau ke semua lini,
khusunya swasta. Maraknya suap di bidang olahraga, terkhusus sepak bola
melatarbelakangi berlakunya UU No.11/1980 tentang tindak pidana suap. Kehadiran
undang-undang ini melengkapai undang-undang yang sudah ada UU No.3/1971.
Sudah
menjadi rahasia umum, sejak tingkat penyidikan, orang bisa “bernegosiasi”. Baik
pelapor ataupun terlapor. Pelapor misalkan, meminta agar terlapor ditangkap dan
dipenjarakan. Yang terancam ditangkap meminta agar tidak ditangkap, dan yang
sudah ditangkap/ditahan memintaagar tahanannya bisa ditangguhkan. Bahkan
perkara yang murni pidana dikatan perkara perdata dan sebaliknya. Semua bisa
diatur, asalkan ada uang. Kasih Uang Habis Perkara (KUHP)!
Lelucon
yang menjadi bahan tertawaan masyarakat, yang kadang-kadang dilontarkan sendiri
oleh para penegak hukum perihal mengapa orang enggan melaporkan pencurian ke
polisi. “Bisa-bisa lapor kecurian kambing malahan berakibat sapinya yang
hilang. Dengan suap orang ingin memanangkan perkaranya.” Tulis Trimoelja D.
Soerjadi dalam bukunya Kendala Menegakkan Kebenaran dan Keadilan. Memang
betul, tidak jarang kita jumpai orang yang hendak menyeleseikan konflik satu
hektare tanah, harus menjual dua hektare tanahnya untuk memenangkan perkara.
Lalu
Bagaimana mengatasinya? Sejujurnya tidak mudah menemukan solusi atas
permasalahan yang pelik dan rumit ini. Tidak cukupnya gaji untuk memenuhi
keinginan yang semakin tidak terbendung, feodalisme yang kian mewabah, dan
konsumerisme dimana-mana kita jumpai. Ini juga faktor yang penting untuk kita
perhitungkan. Lalu bagaimana dengan budaya korupsi yang semakin menggurita,
bisa terjadi pada apa dan siapa saja. Sehingga kita akan semakin bingung dibuatnya,
memberantas korupsi dari mana, oleh siapa, jika ternyata semua melakukan hal
yang sama-sama. Akan amat sulit dijumpai political will yang
sungguh-sungguh untuk membangun bangsa ini. Tidak hanya persentase inflasi yang
akhir-akhir ini naik, tapi jua untrust masyarakat yang semakin menjelma
menajdi “kutukan” atas penguasa. Kita tidak lagi menemukan figur yang dapat
dipercaya, kita tidak tahu harus melapor kemana, kita tidak lagi mengerti
tentang huru-hara bangsa kita.
Sebentar
lagi rakyat Indonesia akan dihadapkan kembali pada pesta demokrasi 2014, tidak
sedikit para politikus yang telah mendeklarasikan diri jauh-jauh hari.
Brangkali mereka mengerti dengan gejala kronis skeptic dan untrust
yang sedang melanda rakyat, karenanya tidak mengapa harus mencuri start
meski harus merogoh kantong terlebih dahulu. Sebenarnya ini tidak menjadi
masalah, justru dengan begini rakyat punya waktu yang lebih panjang untuk
mengenali pilihannya, dan melakukan kontrol dari media masa offline maupun
online. Namun yang disayangkan, turbulensi media informatika yang kita agungkan
di sisi lain sering menjadi ‘permainan’. Kita mungkin sudah maklum dengan
berita-berita palsu atau bahkan pencitraan demi pencitraan, penipuan dan
pembohongan massal sekan sesuatu yang
tanpa dosa.
Karenanya,
rakyat harus diberikan asupan pendidikan politik cukup, atau setidaknya punya
formula sendiri untuk menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin bangsa ini.
Hemat penulis, rakyat tidak mudah percaya dengan berita-berita bayaran atau
pencitraan-pencitraan belaka, setidaknya beberapa hal berikut ini yang harus
kita kita ketahui saat hendak memilih pemimpin bangsa ini: Pertama, harus tahu
banyak hal yang berkaitan dengan keluarganya. Seringkali keluarga menjadi
gambaran seseorang, karenya kita harus tahu betul perihal kelaurga calon
pemimpin yang akan kita pilih, sehingga kita bisa menggadang-gadang apakah
seseorang itu mampu menjadi good decision maker saat memimpin bangsa
ini. Kedua, harus tahu track record
nya. Bagaimanapun, dengan mengetahui ini setidaknya kita mengetahui
potret velue seseorang. Ketiga, harus tahu masa lalunya. Mulai dari
tempat belajarnya sejak sekolah dasar hingga jenjang pendidikan terakhir yang
ditempuhnya, karib-karibnya, dan lainnya. Selebihnya, kita bisa berdo’a kiranya
Tuhan memilihkan pemimpin terbaik bagi bangsa kita.
Akankah
Indonesia bisa menemukan figur yang dapat dipercaya? Akankah Indonesia bisa
menemukan figur yang bijaksana dan bijaksini, sehingga kita bisa kembali
bangkit dan berharga di mata dunia. Semoga kita mampu menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^