Merindumu,
Sungguh
Rindu
Mungkin itu kata
pertama yang terhembuskan
Untuk guratan
kisah masa lalu
Bersamamu
Untuk hari-hari
yang tanpa kemesraan
Untuk setiap
detik yang tanpa cemburu
Dulu
Untuk masa-masa
yang dulu kuabai
Aku merindumu,
sungguh
Dalam do’a aku
terkapar
Meminta dan
mengemis
Agar kiranya
kau kembali menjumpaiku
Mendekap erat jiwaku
Kiranya tuhan
berkehendak pertemukan kita kembali
Agar bisa
kutebus
Semua silap
masa lalu
Semua acuh yang
mungkin buatmu pilu
Semua dusta
yang mungkin buatmu terluka
Ah,
Aku tidak punya
kata-kata lagi untuk kungkapkan
Aku merindumu,
sungguh
Itu saja.
Bismillahirrahmanirrahim.
Hamdan wa Syukron Lillah, Sholaatan wa Salaaman ‘Ala Rasulillah.
Barang
kali ada yang bertanya, siapa yang yang saya rindu dalam bait puisi di atas, dan
saya harap kita mengerti. Ramadhan, ia ramadahanlah yang kurindu itu, kuharap
juga kita bersama merasakan rindu itu, rindu yang tersusun dari
partikel-partikel penghayatan atas cinta dan penyesalan masa lalu. Ramadhan?
Sengaja artikel ini saya tulis jauh-jauh sebelumnya, delapan puluh tujuh hari
sebelum ia tiba, tepatnya. Lalu apa yang kita disini? Curahan hati penyesalan
kah? Fadhilah puasa kah? Fadilah ramadhan kah? Tata cara menjaga puasa kah?
Lafaz niat sahur dan ifthor kah? Ah, saya rasa itu semua tidak kita bicarakan disini. Tema besar kita adalah rindu, rindu yang yang sangat.
Rindu
bukan bagian definisi-definisi itu, rindu adalah rasa, yang hanya bisa
dirasakan tanpa didefinisikan. Definisi-definisi rindu yang sudah banyak dicoba untuk
diutarakan, bagi saya itu bukanlah definisi rindu, itu hanya gambaran dan
ungkapan dampak rindu itu sendiri. semakin mencari rindu, semakin kita
kehilangan arah, karena definisi itu untuk ilmu, sedang rindu adalah rasa. Ia
tidak butuh definisi, kalaupun ada yang mencoba untuk menginterpretasinya maka
itu lebih baik ketimbang harus memaksakan menemukan definisinya.
Rindu,
rindu ini tepatnya, lahir dari rahim cinta dan penyesalan. Cinta yang kadang
kehadirannya tak dapat dindrakan, dirasakan, bahkan sirnanyapun tiba-tiba
menorehkan luka. Cinta yang pada mulanya merupakan rahim yang telah melahirkan
jutaan rasa, menjadi penggerak diri untuk bertemu dan berjumpa pada yang
dicinta, maka hal semacam inilah yang biasa kita sebut rindu.
Sekedar
rindukah? Tidak, rindu ini juga lahir dari penyesalan atas masa lalu.
Penyesalan yang merupakan puncak penghayatan atas sebuah kesilapan yang
terjadi, maka penyasalan menajdi rahim kedua yang telah melahirkan rindu ini.
Menyesal? Apa yang harus disesali? Ketertipuan masa lalu, ya, ketertipuan saya
menamakannya. Tertipu? Pada banyak hal dan aspek kita mengalaminya, namun
kadang kita cendrung tidak sadar karena tidak pernah berusaha sesekali
melakuakn penghayatan dan perenungan atas puing-puing peristiwa yang terjadi.
Maka penyeslan, adalah salah satu anak makna yang lahir dari penghayatan itu
dan kemudian melahirkan rindu.
Jika
sedikit kembali menyusuri sungai sejarah islamnya umar bin khattab, yang
merupakan titik awal dakwah jahriyyah itu dilakukan. Karena disana ada keberanian,
disana ada gelora, disana ada kemantapan komitmen, disana ada anak makna
pengahyatan. Lalu dari manakah lahirnya semua itu? ia lahir dari rahim cinta
dan penyesalan.
Maka
cinta dan penyesalan akan menjadi titik lompatan besar dalam kehidupan seorang
hamba, yang seharusnya kita menyadari dan mampu mengoptimalkan momen kesadaran
itu.
Penyesalan
selalu diakhir? Ya, ia selalu berada di akhir, maka ia sangat berkait erat
dengan awal. Awal dan akhir tidak bisa dipisahkan oleh proses, justru proses
yang menjadikan mereka tetap bersatu. Maka jika penyesalan tiba dia kahir, itu
artinya ada yang salah di awal, di pintu gerbang ramadhan. Awal? Itulah
sebabnya mengapa artikel ini saya tulis delapan puluh tujuh hari sebelum ia
tiba, sebelum tamu istimewa itu menjumpai kita dan kita menjumpainya, dalam
dekap rindu dan cinta.
Agar
cinta itu mampu terekspresikan, dan penyesalan itu tidak terjadi lagi pada masa
yang akan datang, maka kita harus meluangkan waktu khusus jauh hari sebelumnya
sebagai awal menyambut kedatangannya. Sekali lagi, awal ini akan menentukan
akhir dari episode cinta (ramadhan) yang kita jalani.
Lupakan
sejenak beberapa istilah diatas, rindu, cinta, dan penyesalan. Saya ingin
disini, kita tidak hanya berbicara tentang rasa, yang apda ujungnya akan
bertumpu pada hati. Namun penting juga kiranya kita bicarakan tentang sesuatu
yang memiliki dfinisi, meski setiap meiliki definsi yang berbeda-beda atasnya.
Sukses, ini yang saya maksud. Saya mengerti, ketika ada sertaus orang ditanya
tentang definsi suskes, maka mungkin akan tercipta seratus definsi sukses
sektika. Ya, itu subjektif memang. Sukses petani dan polisi tentu berbeda.
Apa
sebenarnya yang inginkan dari bahsan sukses dan waktu? Sederhana, sukses sejak
dulu telah dijadikan symbol dari akhir suatu proses yang berhasil, kiranya kita
juga akan menajdikannya sebagai symbol tolak ukur disini, agar anda pembanding
dari penyesalan yang lahir dari kegagalan. Waktu? Waktu yang merupakan unsure
penting dalam kehidupan yang bahkan Hasan Albanna menyebutkan bahwa waktu bukan
hanya unsure tapi waktu adalah kehidupan itu sendiri. Maka peran waktu pastinya
sangat besar dalam peraihan sebuah kesuksesan.
Masih
kurang faham? Baiklah, pada bebrapa tulisan saya berbicara tentang percepatan
sukses, hal-hal yang dapat digunakan untuk mepercepat kesuksesan. Beragam
sekali, dan saya ingin katakan bahwa salah satu yang dubutuhkan untuk
mempercepat kesuksesan itu adalah momentum. Momentum menjadi penting adanya,
karenanya kita berharap ramdahan adalah salah satu dari momentum kesuksesan
itu. disini kita tidak berbicara tantang fadhilah dan kelebihan-kelebihan
ramadhan, saya harap kita masing-masing mengetahuinya dan mencari ilmu tentang
itu.
Sukses
dan waktu, mohon diperjelas lagi korelasi yang dimaksud disini!. Baik,
sebenarnya yang saya inginkan dari tulisan ini adalah kita menyadari betap
rmadahan menjadi momentum yang sangat berharga bagi kesuksesan yang kita
inginkan. Karenanya, perlu dan harus ada perencanaan jauh hari sebelumnya,
sekali lagi, alhir sellau terkaiterat dengan awal. Maka kita harus memulai awal
ini dengan #amazingPlan, sehingga kita tau persis apa yangs edang kita tuju dan
memalu apa tujuan itu bisa kita raih.
Sederhanya,
buatlah target-target selama ramdahan nanti, sehingga kita bisa melalukan evaluasi
ketika ia telah berlalu. Bagaimanapun, kita harus tiba sebelum berangkat,
begitu kaidah yang saya terima. Artinya, rencana dan target itu adalah apa yang
kita inginkan setelah ramadhan berlalu, itulah yang dimaksud tiba sebelum
berangkat. Bunda Marwah telah mengupas tuntas tentang #PowerOfPlanning, saya
harap kita bisa membacanya masing-masing, sehingga kita tidak membicarakannya
disini.
Target-target
yang yang akan kita buat hendaknya terdiri dari tiga aspek ini, spiritual,
emosional, dan intelektual.
Contoh
table target ramadhan Multazam Zakaria
Spritual
|
Emosianal
|
Intelektual
|
Meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah.
Sarana: memperbanyak tilawah qur’an, melatih solat khusyu’,
memperbanyak shalawat dan istigfar, dan lain sebagianya
|
Meningkatkan kesadran atau kesolihan sosial.
Sarana: member bantuan ifthor bagi panti asuhan sekitar,
memberikan paket lebaran bagi kaum dhuafa, dan lain sebagainya.
|
Menyetor 15 juz hafalan al-Qur’an, memahaminya, dan menyeleseikan
kajian salah satu kitab turats.
|
Yah,
inilah yang bisa kita bicarakan pada saat ini. Semoga bermafaat. Mohon doa para
pembaca, agar target ramdahan saya bisa tercpai, khsususnya setoran 15 juz
hafalan al-Qur’an. Amiin.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sangat berterimakasih bagi para pengunjung yang berkenan untuk berkomentar dan memberikan masukan ^^